Satu detik tak akan pernah mampu untuk menyimpan sebuah kejadian. Namun, detik tak suka hidup sendiri. Ia selalu mencari kawan, berkoloni membentuk menit. Lalu menit-menit ini menjalin diri menjadi jam. Dan jam beraliansi, berekspansi mewujudkan hari. Maka hari adalah detik yang bertransformasi. Detik yang mengalami pubertas dan mampu mereproduksi kejadian dalam rahimnya.
Dan jika tiba saatnya, kejadian ini akan lahir dalam bentuk sebuah proses. Proses apapun memiliki induk yang sama; koloni detik. Pun, sebuah rentang waktu setengah tahun melahirkan sebuah proses bernama adaptasi. Maksudku, sebuah hubungan interpersonal. Semua hubungan merupakan proses adaptasi. Dan semua proses adaptasi pasti melewati tahap-tahap tertentu.
Dan aku baru paham, bahwa sebuah proses adaptasi bukanlah berwujud linear tanpa lekuk. Kurva proses adaptasi membentuk barisan pegunungan. Persis seperti bentang Bukit Barisan di kota yang, aku tahu, sama-sama sedang kita rindukan, Kapten. Aku juga baru paham kalau suatu hari, setelah tahap preparation dan honeymoon yang dijabarkan Ruben dan Stewart dalam bukunya, setelah semua masa-masa bahagia itu, sebuah hubungan akan sampai pada tahap frustration.
Ada masanya ketika percakapan virtual di udara tak lagi mampu membawa tawa. Semua terasa salah. Argumen-argumen berloncatan. Sibuk bertikai mengenai bagaimana seharusnya ini dijalani. Bagaimana definisi sebuah hubungan ideal menurutmu dan menurutku tak lagi sama. Kau tahu, argumen-argumen itu membawa pedang persepsi masing-masing. Gesekan perbedaan persepsi memperburuk keadaan. Dan kita berdua mati-matian menghindar, takut ada yang terluka dan berdarah.
Parahnya, di kurva kita ini tahap frustration bertemu dengan titik redefinition. Aku mempertanyakan kembali definisi "kita" selama ini. Semacam judicial review dari setengah tahun menjadi pacar, ribuan pesan singkat, ratusan kali percakapan di telepon, dan puluhan makan siang bersama. Aku mempertanyakan visi kita yang mulai terdistraksi dan pada satu titik; I almost give up.
Lalu pada sore itu, di tengah gerimis itu, kau membangun teori. Katamu,
"Ibaratnya ada sebuah tembok yang aku bangun, anggaplah dibangun dari seratus batu bata. Dari seratus bata ini, ada dua yang cacat. Menurutmu, apa aku akan langsung merubuhkannya tanpa mempertimbangkan sembilan puluh delapan lain yang baik-baik saja? Why do you just keep your eyes on the bad things we have, instead of the good ones? Can't you?"
Aku benci mengakui ini, tapi sayangnya kau benar, Kapten. Bagaimanapun, kita pernah membelah jalanan bandara Soetta - Depok dengan motor jam dua belas siang saat matahari sedang terik-teriknya. Bagaimanapun juga, kita pernah sama-sama menertawakan rak buku berisi soal-soal latihan Ujian Nasional setelah pengumuman kelulusan. Dan bagaimanapun juga, dalam semua tahap frustration dan redefinition itu; I never lost "that" feeling.
P.S: Happy half-year, Captain! Don't break the wall, please :p
18122013
19.10
Stuck with final term of Antrophology.
18122013
19.10
Stuck with final term of Antrophology.