“Komunikasi
yang selalu kita lakukan sesungguhnya dikuasai oleh alam bawah sadar.
Pesan-pesan yang kita terima dan kirimkan selalu diolah oleh ketidaksadaran
terlebih dahulu. Itu sebabnya, manusia akan selalu berubah karena banyaknya
pesan-pesan yang ia terima dari lingkungannya, meskipun tanpa ia sadari."
Kalimat-kalimat
itu diucapkan oleh dosen saya di kelas Filsafat Komunikasi. Ia menjelaskan
teori ketidaksadaran sambil menunjukkan slide bergambar gunung es. Ya, pikiran
manusia diibaratkan sebagai gunung es. Apa yang terlihat di permukaan hanyalah
sebagian kecil dari keseluruhan bongkahan yang ada. Apa yang kita utarakan
dalam lisan, sesungguhnya melalui proses panjang bernama ketaksadaran.
Tidak,
saya tidak sedang mencoba menulis review untuk bahan ujian semester. Saya hanya
ingin menceritakan bahwa enam bulan kemudian, teori itu terbukti; manusia akan
selalu berubah dengan dipengaruhi pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya.
Baiklah,
kita mulai saja cerita ini.
Jika
kamu pernah membuka blog ini sebelumnya, mungkin kamu pernah melihat postingan
dengan judul angka tingkatan dalam bahasa Inggris. Diawali dengan The Fourth,
The Fifth, dan seterusnya hingga The Ninth. Ya, angka-angka itu merujuk pada
lamanya hubungan interpersonal yang saya jalani dengan seseorang. Semacam
penanda setiap kali durasi hubungan kami bertambah satu bulan.
Sebab saya
rasa, sebatas ucapan “happy sixth mensiversarry, baby” terlalu mainstream.
Sebab saya kira, hubungan ini begitu
indah hingga semua orang harus tahu betapa bahagianya kami. Sebab saya
pikir, dia dan perasaan saya terhadapnya begitu spesial hingga harus ada
semacam memoar yang nantinya akan kami kenang sambil tertawa. Sebab, menuliskan
kisah-kisah kami adalah sebuah cara untuk mengingatnya lebih lama.
Dulu, saya
berpikir seperti itu. Dan saya tak pernah menyesal menuliskannya. Meskipun pada
akhirnya, tepat di hari ulang tahun saya yang kesembilan belas, ia membuat saya
tak mungkin lagi menuliskan kisah kami dengan judul angka-angka konyol itu.
Hari itu, tanggal
empat Agustus baru berlangsung selama dua belas menit. Ia menelepon saya. Dan, saya berharap ia
menyuruh saya keluar rumah dan dia akan berdiri disana, memegang kue tart
dengan lilin yang menyala dan balon warna-warni. Lalu saya akan meniup
lilinnya, berfoto dengan senyum lebar-mungkin beberapa selfie, mengunggahnya ke semua social media yang saya
punya, menerbangkan balonnya, dan kemudian tidur nyenyak.
Namun, terlalu
lama memandangi akun instagram dan path orang-orang dan terlalu sering menonton
film bergenre drama membuat “khayalan tentang kejutan ulang tahun yang ideal”
terkonstruksi di benak saya. Saya lupa, ia selalu berkata bahwa kami adalah
pasangan yang antimainstream. Seharusnya saya juga paham, dia tak akan
melakukan ritual mainstream tiup lilin dan foto unyu itu.
Benarlah. Dia
memberi saya kejutan yang lain. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan. Satu hal
yang tak pernah saya kira akan tega ia lakukan; ucapan “Aku mau kita putus..”
setelah ucapan “Selamat ulang tahun, ya.” Ia mengakhiri semuanya, tepat di
tanggal spesial yang tertulis di semua kartu identitas saya. Bagaimana saya
akan lupa?
Memang,
kami berdua sama-sama paham, hubungan ini memang tak begitu baik sebulan
belakangan. Terpisah ratusan kilometer dan sibuk dengan kegiatan masing-masing
membuat intensitas komunikasi kami berkurang. Setelah kami berada di satu kota
pun, keadaan tak membaik. Saya tahu ada yang salah dalam ini semua. Ia pernah
bilang, hubungan ini mulai terasa membosankan, terasa tanpa tantangan. Mengapa ia tak pergi saja ke Dufan dan mencoba
semua wahana yang menantang adrenalin itu, jika benar ia butuh tantangan?
Mengapa memutuskan mengakhiri semuanya di tanggal empat Agustus?
Ada
begitu banyak “mengapa” yang berputar-putar di otak saya waktu itu. Dan saya
merasa punya kewajiban untuk menanyakannya langsung pada orang yang
bersangkutan.
“Aku
gak mau kamu terus-terusan sedih dalam hubungan ini. Ada banyak orang yang bisa
bikin kamu lebih bahagia, dibanding aku,” jawabnya.
Rasanya,
saya ingin menceramahinya dengan bahasan logical fallacy-sesat pikir yang saya
dapatkan di kelas MPKT A. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa hubungan ini
hanya membuat saya sedih? Dan dari premis mana ia bisa menarik kesimpulan bahwa
mengakhiri semuanya tepat di hari ulang tahun saya bisa menghentikan kesedihan
yang ia asumsikan sendiri itu, bukannya malah membuat saya makin sedih? Silogisme
macam apa yang membuatnya menyimpulkan bahwa orang lain akan bisa membuat saya
lebih bahagia?
Tapi,
jangankan mendebatnya, lidah saya terasa kelu waktu itu. Bermodal skeptisme,
saya nekad memastikan, dia hanya ingin mengerjai saya ala FTV atau tidak.
Berkali-kali ia menjawab tidak. Saya ragu hingga ia menjawab dengan nama Tuhan.
Saya tahu, saya harus percaya. Inilah pil pahit yang harus saya telan, tanpa
bantuan air putih sama sekali. Hanya pil pahit. Dan pilnya semakin pahit ketika
saya menyadari, seharusnya tanggal lima
Agustus hubungan ini seharusnya genap empat belas bulan.
Empat
belas bulan yang dijadikan olok-olokan. Empat belas bulan yang kini jadi
lelucon. Empat belas bulan yang kini hanya bisa ditertawakan.
Ini
bukan pertama kalinya saya menghadapi hubungan yang berakhir. Tapi, ini jelas
pertama kalinya hari ulang tahun saya terasa begitu suram. Walaupun saya
merayakan ulang tahun tanpa kehadiran orang tua sejak umur enam belas tahun,
merencanakan sendiri dan membeli kue tart sendirian di perayaan ulang tahun
saya yang ketujuh belas, serta merayakan ulang tahun kedelapan belas di perantauan
saat baru masuk kuliah, itu rasanya lebih baik daripada harus seperti ini.
Tapi
sudahlah.
Rasanya
kita sudah terlalu menyimpang dari pembahasan awal pembuka tulisan ini. Seperti
yang saya katakan di awal, orang-orang akan selalu berubah dengan dipengaruhi
pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya. Dan lelaki yang dulu saya cintai
ini, jelas berubah. Ia bukan lagi orang yang menempuh kemacetan ibu kota selama
dua jam dengan sepeda motor hanya karena mendengar saya menangis di telepon. Terakhir
kali, ia membiarkan saya menangis di sebelahnya dan hanya menatap lurus ke
jalanan, tanpa berniat menghentikan mobilnya atau menghapus air mata saya.
Ia
jelas berubah. Meski saya tak tahu persis pesan-pesan apa yang telah
mempengaruhi ketidaksadarannya hingga ia berubah seratus delapan puluh derajat.
Namun, jika hipotesis yang sama diajukan ke saya, sedikit banyaknya saya juga
pasti mengalami perubahan. Tapi, mengapa perasaan saya tetap sama sementara ia
tidak adalah sebuah teka teki.
Mungkin,
pesan-pesan yang masuk mengenai berbagai jenis rangkaian listrik telah merebut
tempat kenangan-kenangan kami dalam memori otaknya. Mungkin, bukan hanya
kenangan kami yang tergantikan di otaknya, tetapi saya pun tergantikan di
hatinya. Entah oleh apa. Entah oleh siapa.
Mungkin,
pesan-pesan yang masuk dari lingkungan sekitarnya telah membuat “kulit bawang”
di dirinya menebal, terlalu sulit untuk saya kupas hanya dengan pisau self
disclosure. Mungkin, ia mengalami terlalu banyak disonansi kognitif ketika
menjalani hubungan ini hingga akhirnya memutuskan saya di hari ulang tahun saya
menjadi satu-satunya justifikasi minimal yang dapat melegakan hatinya. Mungkin,
saya tak lagi bisa memenuhi harapannya sebagai sosok perempuan ideal (karena
saya tak bisa masak dan tak bisa memakai eyeliner dengan benar), hingga saya
terlempar ke bawah Comparison Level Alternative-nya dan ditinggalkan begitu
saja.
Namun,
jika ditanya bagaimana perasaan saya ketika menuliskan ini, saya dapat
mengatakan saya baik-baik saja. Saya sudah berhenti menangis dua jam setelah ia
menjatuhkan vonis itu. Dan sampai sekarang, saya tak pernah menangisinya lagi. Bagi
saya, ia yang dulu menjadi objek dalam setiap tulisan saya sudah pergi jauh,
tergantikan oleh sosok asing yang sama sekali tak saya kenal. Ini mungkin
terdengar berlebihan, tetapi dengan cara itulah saya mampu mengikhlaskannya
tanpa beban.
Dan,
apa saya membencinya? Tidak.
Bagaimana
pun, ia pernah menjadi orang yang paling berarti. ia pernah menjadi alasan saya
menunggu kereta datang berjam-jam hanya untuk melihat sosoknya. Ia satu-satunya
yang mendengarkan cerita saya, tentang betapa frustrasinya saya ketika harus
menghadapi dosen mata kuliah MPKT A. Ialah yang dulu membangunkan saya jam tiga
pagi untuk belajar sebelum ujian SBMPTN. Ia yang menemani saya menangis
berjam-jam ketika saya tak lulus SNMPTN. Ia yang dulu selalu membelikan es
krim, karena ia tahu saya senang makan es krim. Dan masih sangat banyak hal baik
lainnya yang pernah ia lakukan kepada saya.
Dia
adalah orang baik. Saya selalu percaya itu. Jika ia berubah, bukan berarti ia
langsung menjadi orang yang jahat. Hidup tak selalu harus diisi dengan dikotomi
semacam itu. Maka dari itu, orang baik tak layak dibenci. Jika diingat,
tanpanya mungkin saya tak akan menjadi seperti ini, menjalani hidup dengan
begitu banyak hal yang bisa disyukuri. Pun darinya, saya banyak belajar hal-hal
yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Tentang kesabaran, penantian, memaklumi,
menerima, dan yang paling penting; mencintai.
Terakhir,
apakah saya masih mencintainya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jawaban atas
pertanyaan itu hanya akan berakhir sebagai sebuah paradoks. Ia memberi saya
banyak hal indah yang bisa dikenang, sekaligus
memberi hal-hal terburuk yang akan selalu diingat. Menjalani proses ini
dengannya adalah bagian yang saya syukuri, sekaligus saya kutuk di akhir. Dia
adalah paradoks. Dia adalah contoh dialektika relasional terbaik dalam hubungan
interpersonal saya; saya masih mencintainya dan tidak mencintainya lagi di saat
yang bersamaan.
07082014
20:04
WIB
Don’t
you dare let our best memories bring you sorrow.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar