Kebingungan saya bukan tanpa alasan. Apa sebenarnya yang telah kita sepakati untuk disebut "rumah"? Cukupkah "bangunan berdinding yang dibangun dengan tujuan proteksi dari bermacam gangguan" menjadi batas definisi? Atau rumah hanya sekedar domisili pengisi kolom alamat di kartu identitas?
Jika mengacu pada definisi semacam itu, maka ini bukanlah homesick. Saya bukannya sedang merindukan bangunan bercat peach di Kota Siantar itu. Apalagi rumah berpagar di Kota Lhokseumawe yang tak pernah saya lihat dan sebatas saya pahami sebagai tempat tinggal kedua orang tua saya. Bukan itu.
Bagi saya, rumah adalah tempat yang diselimuti atmosfer kenyamanan berpadu dengan sense of belonging yang kental, no matter how your condition is. Makna rumah versi saya mungkin terlalu filosofis dari apa yang tercantum dalam KBBI. Tapi biarlah, toh ini bukan tulisan yang akan disetor kepada dosen sebagai LTM yang harus mencantumkan data publikasi. Maka jelas, rumah bagi saya bisa ada dimana saja, tak terbatas pada keberadaan sekat-sekat dinding beton dan lantai keramik.
Lantas, jika rumah bisa berada di mana saja, mengapa saya selalu ingin pulang? Bagaimana bisa lembaran tiket bertuliskan jadwal penerbangan akhir Desember itu terasa sebagai candu untuk mata saya sehingga tak sehari pun saya lewatkan tanpa memandanginya-walau kadang hanya sekilas? Mengapa koper ungu di atas lemari seolah memanggil untuk diisi?
Sederhana saja jawabnya; saya belum merasa nyaman disini. Saya belum menemukan sense of belonging.
Mungkin banyak yang kemudian menuduh tulisan ini jauh dari ungkapan syukur. Universitas impian dengan jurusan sesuai passion, ditambah partner yang berada dalam radius hanya sejam perjalanan. Nyatanya kedua hal tersebut belum mampu merepresentasikan makna rumah sesungguhnya. Mengapa masih merasa kurang?
Entahlah. Saya tak tahu pasti sebabnya. Saya hanya merasa ada beberapa hal yang out of expectation, yang kemudian mengobrak-abrik masterplan awal yang berkembang dalam benak saya. Ada ketimpangan antara harapan dengan realita. Jika ini konteks kenegaraan, mungkin akan lebih gampang menyelesaikan ketimpangan ini; buat saja sebuah tindakan afirmasi, maka rakyat akan senang. Tapi ini bukan negara, tak ada rakyat dan pemerintah yang terpisah dalam benak saya.
Ah, saya sudah menceracau terlalu panjang, nampaknya. Ini hanyalah sepenggal tulisan dengan self-reference yang berlebihan. Ungkapan kegelisahan mahasiswi baru yang rindu kembali ke zona nyamannya, dimana semua hal sesuai dengan harapannya. Suatu hari nanti ia akan paham bahwa tak selalu terjadi sinkronisasi antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Tapi nanti; belum sekarang.
24112013-22:40
-maybe I just feel lonely.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar