Dara
Adinda Kesuma Nasution
Ilmu
Komunikasi
1306460154
Mendengar kata disintegrasi
bangsa, dapat dipastikan dalam benak kita langsung terbayang
peristiwa-peristiwa perpecahan besar, seperti kasus lepasnya Timor Timur dari
wilayah Indonesia ataupun gerakan separatisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka).
Namun, kata disintegrasi tidak melulu soal lepasnya wilayah fisik republik ini.
Kata disintegrasi yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan
tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan. Perpecahan dapat terjadi dalam sebuah hal
sepele yang sering kita abaikan, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Kenyataan bahwa bahasa merupakan
salah satu simbol pemersatu bangsa tidak dapat dibantah lagi terkait
eksistensinya dalam butir ketiga Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal
28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia begitu penting hingga disandingkan dengan
status tanah air dan kebangsaan Indonesia. Posisi vital bahasa Indonesia
diperkuat lagi dengan adanya pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi;
bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
Indonesia
jelas membutuhkan pemersatu karena sifatnya yang multikultural menghadirkan
banyak sekali bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Perbedaan
bahasa ini menjadi noise (gangguan)
yang menghambat proses komunikasi. Suwardi (1996) menyebutkan hancurnya
sistem komunikasi bisa menghancurkan harapan orang untuk berintegrasi. Dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca telah menyatukan rakyat
Indonesia dari Sabang hingga Merauke.
Bahasa Kita Tidak Lagi Satu
Ironisnya, bahasa Indonesia sekarang
ini hanya dianggap sebagai simbol komunikasi tanpa melihat esensinya sebagai
alat pemersatu bangsa. Penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini seringkali
tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Penyimpangan ini tentu
dapat mencederai integrasi bangsa Indonesia. Ibarat sebuah pita pada pembungkus
kado, bahasa Indonesia semestinya tidak hanya dipandang sebagai pemanis belaka,
tetapi ia memiliki fungsi lebih yaitu sebagai pengikat yang mempersatukan rakyat
Indonesia dari berbagai kalangan.
Contoh penyimpangan yang paling
mudah dilihat sekarang ini adalah penggunaan bahasa Indonesia di sosial media,
misalnya Twitter. Jarang sekali kita menemukan sebuah akun Twitter yang
menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan baku. Kalaupun
ditemukan akun-akun berbahasa baku, biasanya merupakan akun milik sebuah
institusi resmi atau pejabat pemerintahan yang sengaja menunjukkan citra diri
yang baik. Namun dalam level masyarakat awam, kaidah kebahasaan dianggap
sebagai angin lalu saja.
Tweet salah seorang pengguna Twitter
yang menunjukkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang tidak baku. Diakses dari
www.twitter.com pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 17.30 WIB.
Screencapture
di atas merupakan salah satu contoh dari penggunaan bahasa Indonesia yang tidak
sesuai kaidah. Kata “laki-laki” hanya disebutkan sebagai ”laki”saja dan
penulisan partikel “lah” yang terpisah dari kata sebelumnya.
Penyingkatan-penyingkatan yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi penyampaian
pesan di Twitter yang dibatasi hanya sebanyak 140 karakter tanpa disadari dapat
menghilangkan kesadaran kita untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Belum selesai dengan permasalahan penggunaan
bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah, ada satu masalah mengenai kebahasaan
yang muncul di Twitter, yaitu munculnya kosakata-kosakata baru yang tidak
terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kosakata seperti cius, miapah, enelan, dan berbagai
kosakata lain menjadi lumrah digunakan dalam interaksi sosial media. Awalnya
mungkin hanya dimaksudkan sebagai lelucon, tetapi dengan adanya fitur Retweet dan Trending
Topic yang membuat sebuah informasi di Twitter merebak cepat dapat
mempengaruhi cara kita berkomunikasi. Bahkan, lama-kelamaan dapat menggeser kosakata-kosakata
asli yang tercantum dalam KBBI.
Tweet dari akun resmi grup band Owl City yang menggunakan bahasa Alay, yaitu penulisan dengan huruf dan angka
sekaligus. Diakses dari http://i47.tinypic.com/fdzypt.jpg pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 18.37 WIB.
Dalam screencapture di atas, bahkan personel sebuah band internasional,
Owl City, ikut-ikutan menulis dengan bahasa Alay,
sebuah bahasa yang jauh dari tatanan kaidah bahasa Indonesia baku. Maka dapat
dibayangkan, pesan tersebut akan menyebar ke
800.235 followers-nya dan
menjadi Trending Topic sehingga
dianggap menjadi sebuah tren baru dan semakin melemahkan kemampuan berbahasa Indonesia
yang baku.
Langkah Kita sebagai Pemuda
Hasil survei yang dilakukan Yahoo!
pada Desember 2008, pengguna internet terbanyak didominasi oleh remaja 15-19
tahun, yaitu sebesar 64 persen.Lebih lanjut dalam survei yang sama dijelaskan
bahwa 58 persen waktu penggunaan internet dihabiskan untuk social networking. Dan jumlah pengguna Twitter di Indonesia meraih
peringkat kelima di dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 29 juta orang
(Brand24, 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas sosial media didominasi
oleh pemuda dan pelaku penyimpangan berbahasa Indonesia di media sosial juga
merupakan pemuda itu sendiri.
Sebagai pihak yang dominan
mencederai bahasa sendiri, para pemuda harus melakukan resolusi sebelum muncul
masalah-masalah baru di bidang ini. Menggugah nasionalisme melalui
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan pemuda sekarang ini
bisa jadi dipandang sebagai langkah normatif belaka yang tersendat di level
implementasi. Namun, tentu saja masih ada beberapa langkah sederhana tapi nyata
yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki keadaan ini.
Pertama,
dalam aktivitas sosial media hendaknya kita berbahasa sesuai dengan status.
Jika berstatus sebagai mahasiswa, gunakan diksi-diksi yang merefleksikan
tingkat intelektualitas sebagai mahasiswa. Bukan bermaksud memamerkan kemampuan
berbahasa, tetapi memang inilah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan
keadaan.Lebih dari dua belas tahun waktu yang dihabiskan di bangku sekolah
untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat disayangkan jika berakhir sebagai
formalitas belaka tanpa implementasi nyata. Jika semua pemuda, khususnya
mahasiswa memiliki pola pikir seperti ini maka perlahan tapi pasti masalah
penyimpangan bahasa Indonesia dapat dikikis habis.
Yang kedua,
pentingnya literasi media dan teknologi di kalangan pemuda. Istilah literasi
media dan teknologi dapat disederhanakan menjadi melek media dan teknologi. Artinya, sebagai pemuda kita tidak hanya
mengakses semua informasi yang tersebar di sosial media, melainkan dapat
menganalisis dan mengevaluasi pesan yang terdapat disana. Langkah ini menjadi penting
agar pemuda tidak begitu saja menerima penyebaran bahasa yang tidak sesuai
kaidah kebahasaan. Dengan demikian, bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah
bahasa baku akan kehilangan pengguna sedikit demi sedikit dan dapat
diminimalisasi penggunaannya.
Ketiga, para
pemuda dapat melakukan kampanye mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar di sosial media dengan menggunakan hashtag yang unik sehingga menarik minat pemuda lainnya. Di ranah
Twitter juga sudah muncul akun-akun yang mengulas tentang bahasa Indonesia yang
baik, misalnya @Bahasa_Kita yang membahas kosakata, tata bahasa, dan penggunaan
Bahasa Indonesia. Namun, selama ini belum muncul gerakan dari pemuda itu
sendiri secara kolektif. Kampanye ini dapat dilakukan mengingat sebuah teori
komunikasi massa dari Schramm dalam Severin dan Tankard (1971) yang disebut dengan Teori
Peluru. Teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap
pesan-pesan komunikasi massa. Apabila
pesan “tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan. Maka dapat
dibayangkan jika kampanye mengenai kebahasaan dilakukan secara
berkesinambungan, efeknya akan sangat besar dan dapat mengembalikan penggunaan
bahasa yang sesuai kaidah.
Langkah-langkah sederhana di atas diharapkan
dapat membantu menyelamatkan nasionalisme dalam penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar, khususnya di tataran sosial media yang begitu dekat dengan
kehidupan sehari-hari pemuda.
Daftar Referensi
Severin, Werner J. & Tankard,
James W., Jr. (2011). Teori Komunikasi:
Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Suwardi, Harsono. (Januari 1996). Integrasi Bangsa dalam Perspektif
Komunikasi. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Tinjauan
Kritikal Tentang Integrasi Bangsa, Depok.
http://kominfo.go.id/berita/detail/3640/Indonesia+Peringkat+Lima+Pengguna+Twitter. Diakses pada 5 Oktober 2013 pukul 10:56 WIB.
http://inet.detik.com/read/2009/03/20/104823/1102372/398/remaja-dominasi-pengguna-internet-indonesia.
Diakses pada 5 Oktober2013 pukul 11:00 WIB
PS. : Seharusnya ada 3 nama penulisnya disini, it's not pure my idea. Thanks a lot Kak Dinda Larasati and you :))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar