Namun kedua simbol ini mengalami kompleksitas ketika disandingkan dengan dua huruf di depannya. I dan P. Sang A menjadi IPA dan si S menjadi IPS. Maka berbagai meaning bermunculan di benak kita. Dan stereotype berhamburan keluar. IPA dan IPS menjadi dikotomi-dua hal yang bertentangan sifatnya.
Di Republik ini, IPA dan IPS menjadi dua genre pembelajaran bagi siswa SMA. IPA mewakili ilmu eksakta dengan ciri khas ujiannya didominasi angka-angka. Sementara IPS merepresentasikan rumpun sosial dengan ciri khas ujian didominasi huruf dalam wacana. Entah apa yang mendasari pembagian genre belajar seperti ini. Mungkin pemikiran pemerintah bahwa penjurusan minat akan memudahkan siswa untuk mempelajari subjek yang lebih spesifik (dengan kata lain lebih sedikit beban kurikulum). Tapi yang jelas, saya menentang-dengan dua alasan utama.
Pertama, penjurusan siswa SMA dalam kedua jurusan tersebut seringkali tidak didasari oleh minat mereka yang sebenarnya. Penjurusan dilakukan oleh pihak sekolah dengan cara melihat nilai rapor saja. Umumnya, standar penjurusan di sekolah-sekolah seperti ini; jika nilai rapor kelas sepuluh dianggap baik, maka siswa "berhak" menentukan pilihan ingin ke IPA atau IPS. Namun, jika nilainya tidak terlalu baik, siswa terpaksa masuk ke kelas IPS. Disini stereotype sudah dibentuk; jurusan IPA berisi anak-anak superior dengan nilai lebih tinggi dari jurusan IPS. Superior dalam artian lebih pintar, lebih rajin, dan kelak lapangan pekerjaannya akan lebih "luas". Stereotype semacam ini menciutkan nyali siswa-siswa pintar yang sebenarnya memiliki minat di rumpun sosial, tetapi takut pada labelling yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat.
Kedua, penjurusan menjadi dua genre semacam ini tidak ada gunanya. Untuk apa membagi siswa menjadi dua kubu jika akhirnya pemerintah membuka Jalur Campuran saat penerimaan mahasiswa baru yang membolehkan dua kubu mengambil jalan tengah? Apakah ini semacam bentuk kebaikan hati pemerintah yang bertujuan "menyelamatkan" siswa yang terlanjur terjerumus dalam jurusan yang keliru-tidak sesuai minatnya?
Langkah "penyelamatan" dengan membuka jalur campuran bukan solusi. Tidak gampang menyeberang pulau dari A ke S atau sebaliknya. Setelah dilakukan pun, jalur campuran mendatangkan konflik baru karena ramainya siswa jurusan IPA yang hinggap di fakultas bercorak rumpun sosial. Tuduhan "merebut lahan" menjadi santer terdengar, seolah pendidikan adalah tanah kaplingan yang terkotak-kotak dalam ekslusivitas.
Wahai Bapak yang duduk di gedung sana,
Mengapa tak melakukan tindakan preventif dengan menetapkan kewajiban untuk melakukan tes mendalam sebelum penjurusan siswa SMA agar hasilnya lebih komprehensif dan holistik? Terkendala biaya? Lalu, mengapa tak hapuskan saja penjurusan?
Siswa SMA bukan korban, jangan sampai penjurusan malah menjadi penjerumusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar