Kamis,
26 Februari 2015, saya ditugaskan untuk memakai tulisan berbunyi “Free hug” dan melihat reaksi orang-orang
atas pesan itu. Di hari itu, kebetulan saya mengikuti kelas Epistemologi di
FIB. Seusai kelas Epistemologi, saya memakai tulisan itu di bagian depan dan
belakang tubuh dan berjalan bersama teman saya, Josua, menuju Perpustakaan
Pusat.
Dalam
perjalanan menuju Perpustakaan, beberapa orang mulai melirik ke arah saya
dengan tatapan heran. Beberapa dari mereka yang berjalan bergerombol juga mulai
berbisik-bisik dengan temannya sambil sesekali menunjuk ke arah saya. Seorang
mahasiswa Korea bahkan berjalan sambil menanyakan, “Free hug?” kepada temannya dengan suara yang cukup keras hingga
saya bisa mendengarnya.
Sesampainya
di Perpustakaan, saya ikut masuk menemani teman saya yang ingin mengembalikan
buku. Saya menunggunya sambil mengecek handphone.
Tiba-tiba, dua orang perempuan seusia saya dan juga memakai jilbab, mendekat
dan menepuk pundak saya. Saya menoleh dan melihat tatapan kasihan di mata
mereka. Kemudian, salah satu dari mereka berkata, “Mbak, ada yang menempelkan
ini,” katanya sambil melepas tulisan “Free
hug” dari punggung saya. Dari tatapannya, saya tahu mereka mengira saya
adalah korban keisengan seseorang. Dalam hati, saya ingin tertawa, tetapi saya
hanya tersenyum dan mengatakan, “Terima kasih ya, Mbak.” Ketika saya berkata
demikian, mereka berdua melihat tulisan yang sama di perut saya dan merasa
lebih heran. Namun, mereka memutuskan pergi. Saat itu, saya melihat mereka
saling berbisik satu sama lain sambil melihat ke arah saya.
Kemudian,
saya memasang tulisan itu lagi. Kami melewati Starbucks dan melihat Wulan,
teman kami yang lain, ada di sana. Kami memutuskan masuk. Ketika masuk, tatapan
pelayan di sana langsung mengarah ke punggung saya, begitu pula dengan beberapa
pengunjung disana. Wulan bereaksi dengan lebih ekspresif. Ia langsung memeluk
saya dan berkata, “Lo pengen banget dipeluk? Gue foto, ah! Ntar gue sebarin ke
temen-temen gue. Ini lucu banget! Ada-ada aja sih lo, Dar.” Ia lalu mengambil
foto saya dengan handphone-nya. Di
saat yang bersamaan, saya mendengar bunyi jepretan kamera dari arah belakang
saya. Saya berbalik dan melihat seorang pengunjung buru-buru memasukkan handphone-nya ke kantong. Saya rasa ia
pun baru saja melakukan hal yang sama seperti Wulan.
Setelah
bertemu dengan Wulan, kami memutuskan untuk ke Mac Room. Disana, saya bertemu
Rafly, mahasiswa peminatan Iklan. Ia menyapa saya dan berkomentar, “Anak Kamed
pada kenapa sih? Kemarin gue liat Andri pakai ginian, sekarang lo. Kalian pada
kalah judi, ya? Nanti gue bikin yang lebih heboh deh di anak Iklan.” Saya hanya
tersenyum mendengarnya, lalu ia bertanya lagi, “Bukan tugas dari dosen, kan?”
Saya tidak menjawabnya dan mengalihkan pembicaraan.
Lalu,
di Mac Room saya juga bertemu dengan Lucky, teman perempuan saya. Melihat saya,
Lucky hanya berkomentar kepada Josua, “Tuh, Jo, free hug.” Josua kemudian berkomentar, “Lo buka kerudung dulu, Dar,
baru gue peluk.” Lucky tertawa, tetapi ketika kami mengobrol, Lucky kembali
bertanya, “Lo ngapain sih? Ini kenapa? Ada apa sih, lo? Pengen banget jadi
center of attention?” Lucky menanyakan hal itu berulang-ulang seolah saya baru
saja melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Namun, saya dan Josua hanya
tertawa dan tidak memberitahu Lucky alasan yang sebenarnya. Di tempat yang sama
saya juga bertemu dengan Carla. Awalnya ia tak menyadari tulisan itu. Namun,
ketika saya, Lucky, dan Josua berbalik pergi, ia sadar dan bertanya, “Free hug banget, Dar?”
Setelah
itu, kami bertiga pergi ke Kantin Fasilkom untuk makan siang. Saat berjalan
melewati meja-meja di sana, seorang cowo berkata kepada temannya, “Itu apaan,
anjir..” sambil menunjuk saya. Orang-orang yang duduk di meja lain pun masih
berbisik-bisi dan menujuk-nunjuk.
Karena
saya ada kelas pada pukul dua siang, saya memutuskan kembali ke FISIP setelah
makan. Di Polay, saya bertemu dengan Harry dan Nikel. Dari kejauhan, mereka
berteriak, “Dara, freee huuug!” sambil merentangkan tangan. Mereka bereaksi
seperti itu karena telah melihat beberapa teman yang lain memakai tanda yang
sama. Di selasar Kopma, saya bertemu dengan Wildan dan Livi. Mereka mengajak
saya ke Kancil (Kantin Psikologi) karena mereka belum makan. Dalam perjalanan
ke sana, Wildan berkata, “Itu apaan sih yang lo pakai? Alay ih, gue malu jalan
sama lo,” katanya setengah bercanda.
Saat
itu Kancil sedang ramai karena tepat jam makan siang. Beberapa orang yang
sedang makan juga masih melirik ke arah saya. Sambil menemani mereka makan,
saya mengecek handphone. Ternyata,
Wulan mengirimkan foto yang ia ambil di Starbucks ke grup LINE Pers Suara
Mahasiswa yang saya ikuti. Foto itu sontak memancing komentar dari teman-teman
saya. Apalagi, di bawah foto itu Wulan memberikan caption “Yang jomblo-jomblo
lagi butuh pelukan, nggak? Go find her!”
Teman saya ada yang berkomentar, “Ya ampun, Dar, segitunya..” dan ada pula yang
berkomentar, “Udah kali, Dar..” Beberapa dari mereka mengirimkan stiker dengan
ekspresi terkejut dan beberapa orang berkomentar “Tau, Dar, segitunya..” dengan
diberi nomor berurutan. Komentar mereka mengisyaratkan bahwa mereka mengira
saya begitu kesepian hanya karena saya tak punya pacar.
Di
Kancil, seorang teman saya bernama Luhur yang duduk di belakang saya tiba-tiba
memanggil dan bertanya, “Dar, itu ada tempelan apa? Lo sengaja, ya? Free hug? No, thanks.” Luhur yang saya
kenal memang seorang yang religious, maka saya paham mengapa ia berkomentar
seperti itu. Ketika kembali ke FISIP, saya bertemu Gayatri yang langsung
memeluk saya sambil berkata, “Ih, Dara modus, minta dipeluk dengan pakai
ginian!” Di selasar itu pula, ada sekelompok mahasiswa jurusan Antropologi yang
membahas fenomena banyaknya anak Komunikasi yang memakai tanda yang sama.
Penggalan obrolan yang saya dengar adalah, “Itu gimana ya, kalau kita peluk
beneran?”
Lalu,
saya ke mushola FISIP untuk shalat Zuhur. Ketika menunggu antrian wudhu,
seorang perempuan bertanya kepada saya, “Eh, itu apaan sih? Temen-temenku pada
ngetawain tuh. Bukan kamu yang diketawain, tapi anak-anak lain yang pakai
beginian.” Saya balik bertanya,”Kapan kamu lihat mereka?” Ia menjawab, “Tadi,
pas turun dari lift. Mereka pada nunjuk-nunjuk dan ketawa-ketawa gitu. Ini ada
apaan sih? Kalian jurusan apa?” Saya hanya menjawab bahwa kami dari jurusan
Komunikasi, tetapi tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.
Selesai
shalat, saya merapikan jilbab di toilet mushola dan bertemu dengan Nabila yang
langsung memeluk saya sambil berkata, “Mau dong, dipeluk.” Lalu, ada pula Rania
yang menyapa saya dan memeluk juga sambil bertanya, “Udah dapat berapa pelukan?
Ini Kamed, ya pasti?” Di saat yang sama, beberapa perempuan yang juga berjilbab
berbisik-bisik dan menunjuk punggung saya. Mereka berada tepat di belakang saya
dan tidak menyadari kalau bayangan mereka jelas terpantul di cermin. Tatapan
mereka seperti berkata, “Ini perempuan apa sih, maksudnya? Berjilbab gini, tapi
menawarkan free hugs.” Saya hanya
tersenyum dan bergegas pergi dari situ.
Di
teras mushola, saya bertemu Andika yang juga melontarkan rasa penasarannya.
“Itu apaan sih, free hug, free hug. Gue ngeliatnya banyak orang
yang make gitu. Eh, by the way, peluk
gue doooong,” katanya sambil merentangkan tangan. Saya hanya tertawa melihat
tingkahnya dan berjalan ke arah kelas. Namun, di depan gedung Nusantara, saya
bertemu dengan Khanif dari jurusan Kriminologi. Dari jauh, ia berteriak,
“Daraa, itu apa yang nempel?” sambil merentangkan kedua tangannya. Setelah
meletakkan tas di kelas, saya lupa mengambil materi untuk hari itu. Saya ke IT
Center dan bertemu dengan Joanna, Margaret, dan Serli yang langsung memeluk
saya.
Di
kelas, Mas Bestian, dosen Pengantar Ekonomi Media juga heran melihat kami yang
rata-rata memakai tulisan yang sama. Ia bertanya apa yang sedang kami lakukan
dengan tulisan itu. Erlangga menceritakan bahwa kami sedang mengobservasi
tanggapan orang-orang jika kami menjadi medium untuk semua pesan. “Wah,
metodenya menarik juga, ya!” kata Mas Bestian. Demikianlah tanggapan
orang-orang ketika saya menjadi medium untuk pesan “Free hug”.
Dari
pengamatan saya, apa yang saya lakukan membuktikan pernyataan “The medium is the message” yang
dilontarkan oleh McLuhan. Reaksi yang dikemukakan orang-orang berbeda terhadap
saya karena sebagai medium, saya membawa pesan tambahan, misalnya yang
terkandung dalam gaya saya berpakaian dan kerudung saya. Tak satupun orang
asing yang berani memeluk saya.
Mereka
hanya melemparkan tatapan curiga dan heran seolah-olah berkata, “Kamu itu
berjilbab, tidak seharusnya kamu berjalan-jalan dengan tulisan yang menawarkan
pelukan ke orang-orang.” Reaksi yang saya terima dari perempuan yang juga
berjilbab tentu berbeda dengan reaksi dari mereka yang tidak menggunakan
jilbab. Ketika Josua, teman saya sendiri mengatakan, “Buka dulu jilbab lo, baru
gue peluk,” saya baru sadar bahwa beberapa lelaki di sekitar saya mungkin sudah
memeluk saya jika saya tak memakai jilbab. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
jilbab saya memberi pesan tambahan meskipun saya hanya berperan sebagai medium.
Teman-teman saya juga menerima respon yang berbeda-beda dan hal ini makin
memperkuat pernyataan McLuhan sebab pesan yang dikirimkan oleh dosen saya sama
persis.
Dari
praktik ini, saya juga belajar bahwa usahakan untuk tidak berbicara dan
menertawakan orang dari belakang karena setelah saya mengalaminya, hal itu sama
sekali tidak nyaman.