20141120

Gigi Bijak

Pernah dengar istilah "wisdom teeth"?

Istilah ini merujuk pada empat gigi geraham belakang yang tumbuh ketika dewasa. Karena masa dewasa identik dengan kebijakan (sebenarnya tidak juga), maka dinamailah mereka dengan wisdom teeth. Namun, dokter gigi saya lebih suka menyebutnya dengan gigi bungsu karena paling akhir muncul. Bungsu dan bijaksana. Terdengar paradoks, memang. Tapi, keduanya hanya simbol yang maknanya arbitrer, bukan?

Mari beralih dari soal pemberian nama. 

Saya akan bercerita bagaimana empat gigi geraham belakang ini mengajari saya sebuah kebijaksanaan; tentang melepaskan.

Bermula dari sebuah malam yang biasa saja; dengan rutinitas yang sama. Tugas kuliah, kepanitiaan, dan liputan yang menanti untuk diperhatikan. Saya baru ingin membaca bahan untuk tugas kuliah ketika kepala sebelah kanan saya terasa sakit. Rasanya sakit sekali hingga saya tak mampu mencerna kata-kata yang terpampang di layar laptop. Awalnya saya menduga migrain itu disebabkan oleh minus mata saya yang bertambah. Tetapi dugaan itu dipatahkan oleh penglihatan saya yang baik-baik saja ketika memakai softlens dengan minus yang sama. Ditambah lagi, rasa sakitnya tak hanya di kepala bagian kanan, tetapi juga merambat ke leher. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengakhiri aktivitas malam itu dan tidur.

Keesokan harinya, saya bangun dan rasa sakit itu masih ada, tetapi intensitasnya jauh berkurang. Dan hal itu membuat saya masih bisa menjalani aktivitas dengan normal. Namun, malamnya, rasa sakit itu datang lagi. Di sebelah kanan dan merambat ke leher. 


Lalu, rasa sakit itu tak pernah absen mengunjungi saya selama tujuh hari setelah  hari pertama ia datang.


Puncaknya kemarin malam. Sedikit berbeda, sakitnya tidak hanya di kepala sebelah kanan dan leher, tetapi juga di bagian gusi sebelah kanan. Sekitar pukul sebelas malam, saya merasa gusi saya membengkak. Orang tua saya berbicara melalui telepon, "Kamu hanya sakit gigi biasa, minumlah Ponstan dan besok pasti sudah hilang sakitnya."

Saya tak terima. 19 tahun ini saya rajin menyikat gigi setiap mandi, sehabis makan, dan sebelum tidur. Diagnosa sakit gigi sama saja dengan menegasikan upaya saya merawat gigi sepanjang hidup. Semacam tuduhan keji bahwa saya tak mampu merawat apa yang saya punya. "Tapi, gigi saya tak berlubang sama sekali," saya bersikeras di telepon sambil menahan sakit. 

Perdebatan malam itu usai dengan keputusan; saya harus pergi ke dokter gigi secepatnya. 

Hari ini, saya pergi ke sebuah rumah sakit dekat dengan pusat kota. Setelah mengantre cukup lama, akhirnya perawat memanggil nama saya. 

Dokter menanyakan keluhan saya. "Gusi saya bengkak dan tiap malam saya migrain parah, Dok," jawab saya kesal. "Padahal saya rajin sikat gigi," saya menambahkan, mengantisipasi ia berasumsi sama seperti orang tua saya. "Ini bukan sakit gigi biasa, Dok. Sampai ke leher sakitnya," saya masih juga bersikeras.


Dokter wanita itu tersenyum sabar, memeriksa sebentar, dan berkata, "Wah, ini gigi bungsunya sudah kelihatan sedikit. Kamu berapa umurnya? (melihat ke catatan pasien) Iya, biasanya gigi bungsu tumbuhnya di umur segini,"

Saya masih tidak mengerti. Saya pernah melihat sendiri sepupu saya yang demam karena gigi bungsunya tumbuh. Tapi, demamnya sehari, bukan migrain berhari-hari. 

"Saya curiga ada yang salah dengan posisinya ini," ujar wanita berkacamata itu. Ia lalu menyuruh saya berfoto di bagian radiologi dan kembali lagi nanti.

15 menit kemudian, saya datang dengan hasil panoramic rontgent gigi dan rahang saya.

"Lihat, empat gigi kamu posisinya miring. Masih berada di bawah gusi memang, tetapi rahangmu kecil, saya takut keempatnya tidak bisa tumbuh ke permukaan," ia memberi penjelasan.

Ya sudah, biarkan saja kalau begitu, saya menggumam dalam hati. Saya sudah hidup hanya dengan 28 gigi selama 19 tahun dan baik-baik saja. Tetapi, saya tetap menunggu penjelasannya.

"Efeknya, (saya lega ia langsung sampai pada bagian ini) migrain itu akan terus datang karena ada saraf yang tertekan. Dibilang berbahaya sih tidak juga, tapi akan sangat mengganggu," ujarnya.

Barulah saya paham. Empat gigi yang bahkan belum pernah saya lihat wujud aslinya ini yang menyebabkan migrain dan sakit leher berkepanjangan itu. "Lalu bagaimana, Dok?"

"Sederhana, yang terpendam harus dikeluarkan. Atau akan melukai," ia berkata sambil tersenyum. "Walaupun cara mengeluarkannya akan jauh lebih sakit," tambahnya.

Saya terdiam lama, antara terperangah dengan kata-katanya dan penasaran dengan kalimat berikutnya.

"Bedah mulut."

Dua kata yang membuat saya bergidik nyeri. "Tidak ada cara lain, Dok?" saya mencoba mencari cara lain.

"Sayangnya, belum ada," jawabnya. "Bedah mulutnya tidak harus sekarang, tunggu kamu siap. Sampai kamu merasa bagian itu memang harus dilepaskan. Sampai kamu merasa akan lebih baik hidup tanpanya," dia melanjutkan.

Entah kenapa, ada bagian dari diri saya yang merasa tersindir dengan perkataan itu sekaligus membenarkannya. Ia melanjutkan sambil menuliskan resep,

"Saya hanya bisa memberi obat pengurang rasa sakit, bukan penyembuh. Dalam kasus kamu, sembuh berarti melepaskan.

Lalu ia menyuruh saya datang lagi lusa untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis bedah mulut. Dari keempat gigi itu, harus dipilih mana yang akan dibuang terlebih dahulu. 


Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter yang baik hati itu dan berjalan meninggalkan ruang prakteknya. Beberapa hal baru terlintas di pikiran saya.

Pertama, ada peristiwa yang memang terjadi di luar kontrol saya dan harus saya terima. Bentuk rahang kecil adalah hasil dari proses evolusi selama jutaan tahun yang tak bisa saya ubah. Upaya rajin menyikat gigi sepanjang hidup tak akan mengubah bentuk rahang saya.

Kedua, apapun yang terpendam, pada akhirnya memang harus dikeluarkan jika tidak ingin melukai diri sendiri, meski prosesnya akan terasa lebih sakit di awal. Entah itu empat gigi bungsu atau hal lain yang masih tertinggal. 

Ketiga, tak perlu takut terhadap hasil yang menanti setelah proses pelepasan itu. At least, we do some efforts to dismiss the continuous pain. Entah bedah mulutnya akan berhasil atau tidak nantinya, namun jawabannya akan diketahui jika dan hanya jika "keputusan bedah mulut" diambil. Mungkin hasilnya baik, mungkin hasilnya buruk. Mungkin pengakuanmu akan diterima, mungkin juga ditolak. Mungkin melepaskannya akan membuatmu makin bahagia, mungkin juga tidak. But, when you decide not to ask, the answer is always "no". 

Be brave, anyway!




20112014
I have confessed to you, right?











Tidak ada komentar:

Posting Komentar