20140807

Ketidaksadaran, 4 Agustus, dan Kamu

“Komunikasi yang selalu kita lakukan sesungguhnya dikuasai oleh alam bawah sadar. Pesan-pesan yang kita terima dan kirimkan selalu diolah oleh ketidaksadaran terlebih dahulu. Itu sebabnya, manusia akan selalu berubah karena banyaknya pesan-pesan yang ia terima dari lingkungannya, meskipun tanpa ia sadari."

                Kalimat-kalimat itu diucapkan oleh dosen saya di kelas Filsafat Komunikasi. Ia menjelaskan teori ketidaksadaran sambil menunjukkan slide bergambar gunung es. Ya, pikiran manusia diibaratkan sebagai gunung es. Apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan bongkahan yang ada. Apa yang kita utarakan dalam lisan, sesungguhnya melalui proses panjang bernama ketaksadaran.

                Tidak, saya tidak sedang mencoba menulis review untuk bahan ujian semester. Saya hanya ingin menceritakan bahwa enam bulan kemudian, teori itu terbukti; manusia akan selalu berubah dengan dipengaruhi pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya.

                Baiklah, kita mulai saja cerita ini.

                Jika kamu pernah membuka blog ini sebelumnya, mungkin kamu pernah melihat postingan dengan judul angka tingkatan dalam bahasa Inggris. Diawali dengan The Fourth, The Fifth, dan seterusnya hingga The Ninth. Ya, angka-angka itu merujuk pada lamanya hubungan interpersonal yang saya jalani dengan seseorang. Semacam penanda setiap kali durasi hubungan kami bertambah satu bulan.

Sebab saya rasa, sebatas ucapan “happy sixth mensiversarry, baby” terlalu mainstream. Sebab saya kira, hubungan ini begitu  indah hingga semua orang harus tahu betapa bahagianya kami. Sebab saya pikir, dia dan perasaan saya terhadapnya begitu spesial hingga harus ada semacam memoar yang nantinya akan kami kenang sambil tertawa. Sebab, menuliskan kisah-kisah kami adalah sebuah cara untuk mengingatnya lebih lama.

Dulu, saya berpikir seperti itu. Dan saya tak pernah menyesal menuliskannya. Meskipun pada akhirnya, tepat di hari ulang tahun saya yang kesembilan belas, ia membuat saya tak mungkin lagi menuliskan kisah kami dengan judul angka-angka konyol itu.

Hari itu, tanggal empat Agustus baru berlangsung selama dua belas menit.  Ia menelepon saya. Dan, saya berharap ia menyuruh saya keluar rumah dan dia akan berdiri disana, memegang kue tart dengan lilin yang menyala dan balon warna-warni. Lalu saya akan meniup lilinnya, berfoto dengan senyum lebar-mungkin beberapa selfie,  mengunggahnya ke semua social media yang saya punya, menerbangkan balonnya, dan kemudian tidur nyenyak.

Namun, terlalu lama memandangi akun instagram dan path orang-orang dan terlalu sering menonton film bergenre drama membuat “khayalan tentang kejutan ulang tahun yang ideal” terkonstruksi di benak saya. Saya lupa, ia selalu berkata bahwa kami adalah pasangan yang antimainstream. Seharusnya saya juga paham, dia tak akan melakukan ritual mainstream tiup lilin dan foto unyu itu.

Benarlah. Dia memberi saya kejutan yang lain. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan. Satu hal yang tak pernah saya kira akan tega ia lakukan; ucapan “Aku mau kita putus..” setelah ucapan “Selamat ulang tahun, ya.” Ia mengakhiri semuanya, tepat di tanggal spesial yang tertulis di semua kartu identitas saya. Bagaimana saya akan lupa?

                Memang, kami berdua sama-sama paham, hubungan ini memang tak begitu baik sebulan belakangan. Terpisah ratusan kilometer dan sibuk dengan kegiatan masing-masing membuat intensitas komunikasi kami berkurang. Setelah kami berada di satu kota pun, keadaan tak membaik. Saya tahu ada yang salah dalam ini semua. Ia pernah bilang, hubungan ini mulai terasa membosankan, terasa tanpa tantangan.  Mengapa ia tak pergi saja ke Dufan dan mencoba semua wahana yang menantang adrenalin itu, jika benar ia butuh tantangan? Mengapa memutuskan mengakhiri semuanya di tanggal empat Agustus?

                Ada begitu banyak “mengapa” yang berputar-putar di otak saya waktu itu. Dan saya merasa punya kewajiban untuk menanyakannya langsung pada orang yang bersangkutan.

                “Aku gak mau kamu terus-terusan sedih dalam hubungan ini. Ada banyak orang yang bisa bikin kamu lebih bahagia, dibanding aku,” jawabnya.

                Rasanya, saya ingin menceramahinya dengan bahasan logical fallacy-sesat pikir yang saya dapatkan di kelas MPKT A. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa hubungan ini hanya membuat saya sedih? Dan dari premis mana ia bisa menarik kesimpulan bahwa mengakhiri semuanya tepat di hari ulang tahun saya bisa menghentikan kesedihan yang ia asumsikan sendiri itu, bukannya malah membuat saya makin sedih? Silogisme macam apa yang membuatnya menyimpulkan bahwa orang lain akan bisa membuat saya lebih bahagia?

                Tapi, jangankan mendebatnya, lidah saya terasa kelu waktu itu. Bermodal skeptisme, saya nekad memastikan, dia hanya ingin mengerjai saya ala FTV atau tidak. Berkali-kali ia menjawab tidak. Saya ragu hingga ia menjawab dengan nama Tuhan. Saya tahu, saya harus percaya. Inilah pil pahit yang harus saya telan, tanpa bantuan air putih sama sekali. Hanya pil pahit. Dan pilnya semakin pahit ketika saya menyadari, seharusnya tanggal  lima Agustus hubungan ini seharusnya genap empat belas bulan.

                Empat belas bulan yang dijadikan olok-olokan. Empat belas bulan yang kini jadi lelucon. Empat belas bulan yang kini hanya bisa ditertawakan.

                Ini bukan pertama kalinya saya menghadapi hubungan yang berakhir. Tapi, ini jelas pertama kalinya hari ulang tahun saya terasa begitu suram. Walaupun saya merayakan ulang tahun tanpa kehadiran orang tua sejak umur enam belas tahun, merencanakan sendiri dan membeli kue tart sendirian di perayaan ulang tahun saya yang ketujuh belas, serta merayakan ulang tahun kedelapan belas di perantauan saat baru masuk kuliah, itu rasanya lebih baik daripada harus seperti ini.

                Tapi sudahlah.

                Rasanya kita sudah terlalu menyimpang dari pembahasan awal pembuka tulisan ini. Seperti yang saya katakan di awal, orang-orang akan selalu berubah dengan dipengaruhi pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya. Dan lelaki yang dulu saya cintai ini, jelas berubah. Ia bukan lagi orang yang menempuh kemacetan ibu kota selama dua jam dengan sepeda motor hanya karena mendengar saya menangis di telepon. Terakhir kali, ia membiarkan saya menangis di sebelahnya dan hanya menatap lurus ke jalanan, tanpa berniat menghentikan mobilnya atau menghapus air mata saya.

                Ia jelas berubah. Meski saya tak tahu persis pesan-pesan apa yang telah mempengaruhi ketidaksadarannya hingga ia berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, jika hipotesis yang sama diajukan ke saya, sedikit banyaknya saya juga pasti mengalami perubahan. Tapi, mengapa perasaan saya tetap sama sementara ia tidak adalah sebuah teka teki.

                Mungkin, pesan-pesan yang masuk mengenai berbagai jenis rangkaian listrik telah merebut tempat kenangan-kenangan kami dalam memori otaknya. Mungkin, bukan hanya kenangan kami yang tergantikan di otaknya, tetapi saya pun tergantikan di hatinya. Entah oleh apa. Entah oleh siapa.

                Mungkin, pesan-pesan yang masuk dari lingkungan sekitarnya telah membuat “kulit bawang” di dirinya menebal, terlalu sulit untuk saya kupas hanya dengan pisau self disclosure. Mungkin, ia mengalami terlalu banyak disonansi kognitif ketika menjalani hubungan ini hingga akhirnya memutuskan saya di hari ulang tahun saya menjadi satu-satunya justifikasi minimal yang dapat melegakan hatinya. Mungkin, saya tak lagi bisa memenuhi harapannya sebagai sosok perempuan ideal (karena saya tak bisa masak dan tak bisa memakai eyeliner dengan benar), hingga saya terlempar ke bawah Comparison Level Alternative-nya dan ditinggalkan begitu saja.

                Namun, jika ditanya bagaimana perasaan saya ketika menuliskan ini, saya dapat mengatakan saya baik-baik saja. Saya sudah berhenti menangis dua jam setelah ia menjatuhkan vonis itu. Dan sampai sekarang, saya tak pernah menangisinya lagi. Bagi saya, ia yang dulu menjadi objek dalam setiap tulisan saya sudah pergi jauh, tergantikan oleh sosok asing yang sama sekali tak saya kenal. Ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi dengan cara itulah saya mampu mengikhlaskannya tanpa beban.

                Dan, apa saya membencinya? Tidak.
               
                Bagaimana pun, ia pernah menjadi orang yang paling berarti. ia pernah menjadi alasan saya menunggu kereta datang berjam-jam hanya untuk melihat sosoknya. Ia satu-satunya yang mendengarkan cerita saya, tentang betapa frustrasinya saya ketika harus menghadapi dosen mata kuliah MPKT A. Ialah yang dulu membangunkan saya jam tiga pagi untuk belajar sebelum ujian SBMPTN. Ia yang menemani saya menangis berjam-jam ketika saya tak lulus SNMPTN. Ia yang dulu selalu membelikan es krim, karena ia tahu saya senang makan es krim. Dan masih sangat banyak hal baik lainnya yang pernah ia lakukan kepada saya.

                Dia adalah orang baik. Saya selalu percaya itu. Jika ia berubah, bukan berarti ia langsung menjadi orang yang jahat. Hidup tak selalu harus diisi dengan dikotomi semacam itu. Maka dari itu, orang baik tak layak dibenci. Jika diingat, tanpanya mungkin saya tak akan menjadi seperti ini, menjalani hidup dengan begitu banyak hal yang bisa disyukuri. Pun darinya, saya banyak belajar hal-hal yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Tentang kesabaran, penantian, memaklumi, menerima, dan yang paling penting; mencintai.

                Terakhir, apakah saya masih mencintainya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jawaban atas pertanyaan itu hanya akan berakhir sebagai sebuah paradoks. Ia memberi saya banyak hal indah yang  bisa dikenang, sekaligus memberi hal-hal terburuk yang akan selalu diingat. Menjalani proses ini dengannya adalah bagian yang saya syukuri, sekaligus saya kutuk di akhir. Dia adalah paradoks. Dia adalah contoh dialektika relasional terbaik dalam hubungan interpersonal saya; saya masih mencintainya dan tidak mencintainya lagi di saat yang bersamaan.


                07082014
                20:04 WIB

                Don’t you dare let our best memories bring you sorrow.