20140523

Kita dalam Analogi Bawang

Kami berada dalam satu kepanitiaan yang sama saat di SMA. Saya mengurusi bagian acara dan ia menjadi wakil ketua. Saya tak pernah mengenalnya sebelum berada di kepanitiaan ini dan hal yang sama terjadi padanya. Agenda rapat yang dilakukan dengan frekuensi tinggi membuat kami sering bertemu dan berinteraksi. Awalnya hanya seputar masalah acara yang ingin kami selenggarakan. Awalnya seprofesional itu. 

Hari demi hari berlalu. Topik yang kami bahas tak lagi tentang seberapa siap anggota volksong untuk tampil di acara nanti. Kami mulai membahas hal-hal lain di luar kepanitiaan. Lewat obrolan-obrolan itu, ia tahu betapa saya mencintai es krim. Dan saya tahu betapa ia membenci durian-hal yang menurut saya tidak masuk akal sama sekali.

Lalu, acara yang kami selenggarakan berlangsung sukses dan kepanitiaan dibubarkan. Namun, bukan berarti hubungan interpersonal kami ikut bubar. Semakin lama, semakin banyak topik yang kami bahas, terutama mengenai pribadi masing-masing. Tujuh bulan setelah hari pertama kali kami bertemu, ia ingin menamai hubungan yang kami jalani. Dan saya mengiyakan.

Mengiyakan permintaannya berarti menyatakan setuju untuk membagi lebih banyak. Menceritakan pengalaman sehari-hari dengan intensitas tinggi. Mengizinkannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak saya bagikan dengan orang lain. 

Kini, hampir dua belas bulan setelah saya hari saat saya mengiyakan permintaannya. Tak terhitung banyaknya informasi yang kami pertukarkan. Topik yang kami bahas tentu berbeda dari hari dimana ia menanyakan nama saya. Ia tentu lebih mengenal saya daripada orang-orang baru yang saya temui di masa perkuliahan ini. 

Saya selalu merasa takjub bagaimana perubahan dari awal kami tak mengenal satu sama lain walaupun berada di sekolah yang sama dan angkatan yang sama hingga bisa sedekat sekarang. 

Dan sebuah teori komunikasi yang saya pelajari di kelas menjelaskan proses ini dengan sangat baik. Teori itu bernama Penetrasi Sosial. Satu konsep yang sangat menarik bagi saya adalah bagaimana Altmann dan Taylor-penemu teori ini-mengibaratkan diri manusia seperti bawang merah yang berlapis-lapis.

Setiap lapis bawang itu merupakan informasi-informasi yang kita miliki tentang diri kita. Dan sebuah hubungan interpersonal bertujuan untuk membuka lapis demi lapis bawang itu. Lapisan luar berisi informasi yang sangat umum dan biasanya diketahui oleh semua orang. Semakin ke dalam, informasi bersifat semakin rahasia. Proses pengungkapan informasi ini dinamakan self disclosure. 

Tingginya intensitas self disclosure inilah yang membuat hubungan kami bergerak dari sebuah hubungan profesional hingga hubungan yang memiliki kedekatan khusus. Dan jika mengikuti analogi yang dikemukakan oleh teori ini, lapisan bawang yang kami "kupas" mungkin sudah sangat tebal. 

Maka muncul pertanyaan di benak saya, ketika lapisan bawang yang tersisa hampir habis, apalagi yang bisa "dikupas"? Jika self disclosure telah mencapai puncaknya, kemana lagi arah hubungan ini?

Teman saya membantah pertanyaan saya ini dengan berkata, "Kamu tidak akan pernah benar-benar mengenal seseorang secara utuh. Lapisan bawangnya tidak akan pernah habis!"

Oke, saya mengalah. Dan mengubah pertanyaannya menjadi, "Jika lapisan bawang yang saya miliki sudah mencapai batas untuk bisa "dikupas" (yang artinya lapisannya masih ada, tetapi tinggal sedikit), kemana hubungan ini akan berujung?

Asumsi terakhir dari teori ini menjawab pertanyaan itu. Asumsi itu berbunyi, "sebuah hubungan juga mencakup tahap depenetrasi dan disolusi." Depenetrasi dan disolusi adalah sebuah tahap penarikan diri yang berujung pada berakhirnya sebuah hubungan interpersonal.

Mungkin, akan ada saat dimana kita kehabisan informasi mengenai diri sendiri untuk dibahas. Saat kita terdiam di telepon, bingung harus membicarakan apa. Saat cangkir kopi menjadi saksi kebungkaman yang terasa menyesakkan. 

Menjauh sejenak mungkin bisa menjadi sebuah cara membangun kembali lapisan-lapisan bawang itu. Agar ada yang bisa kita bicarakan lagi. Agar ada hal-hal yang tak kau ketahui lagi. Agar waktu yang kita habiskan di telepon  bukan lagi menjadi ruang bagi udara yang berputar tanpa kata. Agar setidaknya, diamku dan diammu bisa terpecah berkat si bawang yang kembali utuh. Semoga. 



22 Mei 2014
17:24 WIB
Tolong jangan salah paham. 





Path dan Dialektika Relasional

Siapa tak kenal Path?

Sebuah jejaring sosial yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia karena fitur-fitur yang dimilikinya. Path diklaim sebagai sebuah jaringan sosial yang bersifat lebih personal daripada jejaring sosial sejenis karena seseorang hanya diperbolehkan memiliki maksimal 150 orang teman. Hal ini bukan tak beralasan. Katanya, ada penelitian yang menemukan bahwa manusia hanya bisa memiliki 150 orang terdekat sepanjang hidupnya.

Hadirnya orang-orang terdekat di jejaring yang kita bangun melalui Path membuat momen-momen yang dibagi lebih personal. Bagi saya, merupakan hal yang menyenangkan ketika kita bisa bebas membagikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita tanpa memikirkan apa yang akan orang lain katakan. Toh, Path berisi orang-orang yang benar-benar saya kenal. Contoh konkretnya, ada perbedaan caption yang saya tuliskan bersama dengan foto yang saya posting di Path dan Instagram. Path menjanjikan intimasi yang tidak ditemukan di jejaring sosial lain-setidaknya bagi saya. 

 Namun, dengan tingginya tingkat adopsi Path oleh masyarakat Indonesia, akhirnya Path membolehkan penggunanya untuk berteman dengan 500 orang di Path. Ekspansi yang dilakukan oleh Path ini menimbulkan beragam respon dari penggunanya.

Sebagian pengguna menyambut dengan euforia. Tipikal pengguna macam ini akan menerima semua permintaan pertemanan tanpa pilih-pilih. Memperlakukan Path seperti Facebook. Saya masih ingat di awal-awal pemberlakuan jumlah pertemanan baru itu, linimasa Path saya dipenuhi dengan feeds mengenai jalinan perteman baru yang dibangun oleh teman-teman saya. Seorang teman yang kesal dengan fenomena ini bahkan menjuluki hari-hari itu sebagai "Hari Pertemanan Sedunia".

Sementara, di seberang jalan, terdapat orang-orang yang awalnya merasa senang dengan ekspansi ini. Saya merasa gusar setengah mati ketika semua teman saya sudah bisa menerima lebih dari 150 pertemanan, sementara akun saya belum bisa. Dan saya kegirangan ketika tahu akun saya sudah bisa melakukan hal yang sama. Tetapi beberapa hari kemudian, saya mulai jengah dengan hal itu.  

Mendadak, saya merasa Path begitu penuh dengan permintaan pertemanan dari orang-orang asing yang tak saya kenal. Beberapa permintaan pertemanan datang dari orang yang saya kenal, tetapi hanya sekedar mengenal dalam artian menyapa jika bertemu, bukan orang-orang yang saya kenal secara personal. Dan ini menimbulkan dilema tersendiri. Apakah kita akan menerima permintaan pertemanan mereka dengan risiko memakai kembali "topeng pencitraan" seperti di sosial media lain? Jika tak kita terima, predikat "eksklusif" mungkin akan disematkan pada diri kita-jika kata "sombong" terlalu ekstrem untuk digunakan.

Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengapa saya merasa ingin "berteman" dengan semua orang, tetapi di saat yang bersamaan saya hanya menginginkan orang-orang tertentu yang ada dalam jejaring pertemanan saya?

Bukan, jawabannya bukan karena saya labil.

Sebuah teori komunikasi menjelaskan hal ini. Teori itu bernama Dialektika Relasional. Dalam teori ini disebutkan bahwa manusia cenderung berada dalam kontradiksi-kontradiksi yang saling tarik menarik ketika menjalin sebuah hubungan dengan orang lain. Sederhananya, hubungan tidak dipandang sebagai sebuah hal yang saklek; kita hanya ingin dekat dengan seseorang atau menjauhinya. Bukan seperti itu. Teori ini menganggap sebaliknya. Dalam sebuah hubungan, kita cenderung ingin dekat dengan orang lain sekaligus ingin menjauhinya, walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, fenomena itu terjadi terus-menerus dalam hubungan manusia.

Hubungan saya dengan orang lain yang dimediasi oleh Path, juga sejatinya begitu. Di satu sisi saya ingin berbagi momen-momen dengan orang-orang dalam kehidupan saya. Namun, di sisi lain saya mem-filter siapa orang yang boleh melihat semua momen itu dan momen apa saja yang ingin dibagi. Berbicara teoritis, konsep ini disebut dengan openness and protection. Terbuka, tetapi ingin sekaligus ingin melindungi informasi-informasi personal yang kita miliki. 

Lalu, bagaimana menyikapi kontradiksi ini? Sebab hal-hal yang berisi ketidakstabilan akan cenderung mendatangkan stress secara kognitif. Teori ini juga menawarkan berbagai cara sebenarnya. Namun, saya memilih pola selection, yaitu memutuskan di kubu mana saya ingin menempatkan orang-orang yang dimediasi oleh Path ini; openness atau protection.

Dan saya memilih openness.

Saya ingin Path tetap menjadi seperti tujuan awal ia diciptakan; sebuah jejaring sosial yang menjanjikan ekslusivitas dan intimasi. Maka dari itu, saya menghapus pertemanan dengan beberapa orang yang tidak saya kenal secara personal. Saya ingin kembali bebas mem-posting foto selfie saya tanpa bantuan efek Camera 360 di jejaring sosial. Saya ingin kembali menjadi diri saya yang tanpa topeng di jejaring sosial. Dan sejauh ini, bagi saya hanya Path yang mampu menjanjikan hal itu. 

Dalam memandang perkembangan teknologi, terdapat dua mazhab, yaitu determinisme teknologi dan konstruksi sosial teknologi. Kubu pertama mengatakan bahwa kitalah yang diatur oleh teknologi, sementara kubu kedua berpandangan sebaliknya. Dan saya tak ingin dideterminasi oleh teknologi. Oleh Path. Oleh jejaring yang menurut Immanuel Castell telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Maka dari itu, kita harus bijak menggunakan teknologi, khususnya jejaring sosial yang sangat variatif belakangan ini. Menentukan tujuan dari pemakaian sebuah teknologi bisa menjadi langkah awal untuk tidak menjadi korban dari teknologi. 


23 Mei 2014
16:29 WIB
Maaf, saya menghapus Anda dari jejaring Path saya.