20150315

Ketika Saya Menawarkan Pelukan Gratis


Kamis, 26 Februari 2015, saya ditugaskan untuk memakai tulisan berbunyi “Free hug” dan melihat reaksi orang-orang atas pesan itu. Di hari itu, kebetulan saya mengikuti kelas Epistemologi di FIB. Seusai kelas Epistemologi, saya memakai tulisan itu di bagian depan dan belakang tubuh dan berjalan bersama teman saya, Josua, menuju Perpustakaan Pusat.

Dalam perjalanan menuju Perpustakaan, beberapa orang mulai melirik ke arah saya dengan tatapan heran. Beberapa dari mereka yang berjalan bergerombol juga mulai berbisik-bisik dengan temannya sambil sesekali menunjuk ke arah saya. Seorang mahasiswa Korea bahkan berjalan sambil menanyakan, “Free hug?” kepada temannya dengan suara yang cukup keras hingga saya bisa mendengarnya.

Sesampainya di Perpustakaan, saya ikut masuk menemani teman saya yang ingin mengembalikan buku. Saya menunggunya sambil mengecek handphone. Tiba-tiba, dua orang perempuan seusia saya dan juga memakai jilbab, mendekat dan menepuk pundak saya. Saya menoleh dan melihat tatapan kasihan di mata mereka. Kemudian, salah satu dari mereka berkata, “Mbak, ada yang menempelkan ini,” katanya sambil melepas tulisan “Free hug” dari punggung saya. Dari tatapannya, saya tahu mereka mengira saya adalah korban keisengan seseorang. Dalam hati, saya ingin tertawa, tetapi saya hanya tersenyum dan mengatakan, “Terima kasih ya, Mbak.” Ketika saya berkata demikian, mereka berdua melihat tulisan yang sama di perut saya dan merasa lebih heran. Namun, mereka memutuskan pergi. Saat itu, saya melihat mereka saling berbisik satu sama lain sambil melihat ke arah saya.

Kemudian, saya memasang tulisan itu lagi. Kami melewati Starbucks dan melihat Wulan, teman kami yang lain, ada di sana. Kami memutuskan masuk. Ketika masuk, tatapan pelayan di sana langsung mengarah ke punggung saya, begitu pula dengan beberapa pengunjung disana. Wulan bereaksi dengan lebih ekspresif. Ia langsung memeluk saya dan berkata, “Lo pengen banget dipeluk? Gue foto, ah! Ntar gue sebarin ke temen-temen gue. Ini lucu banget! Ada-ada aja sih lo, Dar.” Ia lalu mengambil foto saya dengan handphone-nya. Di saat yang bersamaan, saya mendengar bunyi jepretan kamera dari arah belakang saya. Saya berbalik dan melihat seorang pengunjung buru-buru memasukkan handphone-nya ke kantong. Saya rasa ia pun baru saja melakukan hal yang sama seperti Wulan.

Setelah bertemu dengan Wulan, kami memutuskan untuk ke Mac Room. Disana, saya bertemu Rafly, mahasiswa peminatan Iklan. Ia menyapa saya dan berkomentar, “Anak Kamed pada kenapa sih? Kemarin gue liat Andri pakai ginian, sekarang lo. Kalian pada kalah judi, ya? Nanti gue bikin yang lebih heboh deh di anak Iklan.” Saya hanya tersenyum mendengarnya, lalu ia bertanya lagi, “Bukan tugas dari dosen, kan?” Saya tidak menjawabnya dan mengalihkan pembicaraan.

Lalu, di Mac Room saya juga bertemu dengan Lucky, teman perempuan saya. Melihat saya, Lucky hanya berkomentar kepada Josua, “Tuh, Jo, free hug.” Josua kemudian berkomentar, “Lo buka kerudung dulu, Dar, baru gue peluk.” Lucky tertawa, tetapi ketika kami mengobrol, Lucky kembali bertanya, “Lo ngapain sih? Ini kenapa? Ada apa sih, lo? Pengen banget jadi center of attention?” Lucky menanyakan hal itu berulang-ulang seolah saya baru saja melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Namun, saya dan Josua hanya tertawa dan tidak memberitahu Lucky alasan yang sebenarnya. Di tempat yang sama saya juga bertemu dengan Carla. Awalnya ia tak menyadari tulisan itu. Namun, ketika saya, Lucky, dan Josua berbalik pergi, ia sadar dan bertanya, “Free hug banget, Dar?”

Setelah itu, kami bertiga pergi ke Kantin Fasilkom untuk makan siang. Saat berjalan melewati meja-meja di sana, seorang cowo berkata kepada temannya, “Itu apaan, anjir..” sambil menunjuk saya. Orang-orang yang duduk di meja lain pun masih berbisik-bisi dan menujuk-nunjuk.

Karena saya ada kelas pada pukul dua siang, saya memutuskan kembali ke FISIP setelah makan. Di Polay, saya bertemu dengan Harry dan Nikel. Dari kejauhan, mereka berteriak, “Dara, freee huuug!” sambil merentangkan tangan. Mereka bereaksi seperti itu karena telah melihat beberapa teman yang lain memakai tanda yang sama. Di selasar Kopma, saya bertemu dengan Wildan dan Livi. Mereka mengajak saya ke Kancil (Kantin Psikologi) karena mereka belum makan. Dalam perjalanan ke sana, Wildan berkata, “Itu apaan sih yang lo pakai? Alay ih, gue malu jalan sama lo,” katanya setengah bercanda.

Saat itu Kancil sedang ramai karena tepat jam makan siang. Beberapa orang yang sedang makan juga masih melirik ke arah saya. Sambil menemani mereka makan, saya mengecek handphone. Ternyata, Wulan mengirimkan foto yang ia ambil di Starbucks ke grup LINE Pers Suara Mahasiswa yang saya ikuti. Foto itu sontak memancing komentar dari teman-teman saya. Apalagi, di bawah foto itu Wulan memberikan caption “Yang jomblo-jomblo lagi butuh pelukan, nggak? Go find her!” Teman saya ada yang berkomentar, “Ya ampun, Dar, segitunya..” dan ada pula yang berkomentar, “Udah kali, Dar..” Beberapa dari mereka mengirimkan stiker dengan ekspresi terkejut dan beberapa orang berkomentar “Tau, Dar, segitunya..” dengan diberi nomor berurutan. Komentar mereka mengisyaratkan bahwa mereka mengira saya begitu kesepian hanya karena saya tak punya pacar.

Di Kancil, seorang teman saya bernama Luhur yang duduk di belakang saya tiba-tiba memanggil dan bertanya, “Dar, itu ada tempelan apa? Lo sengaja, ya? Free hug? No, thanks.” Luhur yang saya kenal memang seorang yang religious, maka saya paham mengapa ia berkomentar seperti itu. Ketika kembali ke FISIP, saya bertemu Gayatri yang langsung memeluk saya sambil berkata, “Ih, Dara modus, minta dipeluk dengan pakai ginian!” Di selasar itu pula, ada sekelompok mahasiswa jurusan Antropologi yang membahas fenomena banyaknya anak Komunikasi yang memakai tanda yang sama. Penggalan obrolan yang saya dengar adalah, “Itu gimana ya, kalau kita peluk beneran?”

Lalu, saya ke mushola FISIP untuk shalat Zuhur. Ketika menunggu antrian wudhu, seorang perempuan bertanya kepada saya, “Eh, itu apaan sih? Temen-temenku pada ngetawain tuh. Bukan kamu yang diketawain, tapi anak-anak lain yang pakai beginian.” Saya balik bertanya,”Kapan kamu lihat mereka?” Ia menjawab, “Tadi, pas turun dari lift. Mereka pada nunjuk-nunjuk dan ketawa-ketawa gitu. Ini ada apaan sih? Kalian jurusan apa?” Saya hanya menjawab bahwa kami dari jurusan Komunikasi, tetapi tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.

Selesai shalat, saya merapikan jilbab di toilet mushola dan bertemu dengan Nabila yang langsung memeluk saya sambil berkata, “Mau dong, dipeluk.” Lalu, ada pula Rania yang menyapa saya dan memeluk juga sambil bertanya, “Udah dapat berapa pelukan? Ini Kamed, ya pasti?” Di saat yang sama, beberapa perempuan yang juga berjilbab berbisik-bisik dan menunjuk punggung saya. Mereka berada tepat di belakang saya dan tidak menyadari kalau bayangan mereka jelas terpantul di cermin. Tatapan mereka seperti berkata, “Ini perempuan apa sih, maksudnya? Berjilbab gini, tapi menawarkan free hugs.” Saya hanya tersenyum dan bergegas pergi dari situ.

Di teras mushola, saya bertemu Andika yang juga melontarkan rasa penasarannya. “Itu apaan sih, free hug, free hug. Gue ngeliatnya banyak orang yang make gitu. Eh, by the way, peluk gue doooong,” katanya sambil merentangkan tangan. Saya hanya tertawa melihat tingkahnya dan berjalan ke arah kelas. Namun, di depan gedung Nusantara, saya bertemu dengan Khanif dari jurusan Kriminologi. Dari jauh, ia berteriak, “Daraa, itu apa yang nempel?” sambil merentangkan kedua tangannya. Setelah meletakkan tas di kelas, saya lupa mengambil materi untuk hari itu. Saya ke IT Center dan bertemu dengan Joanna, Margaret, dan Serli yang langsung memeluk saya.

Di kelas, Mas Bestian, dosen Pengantar Ekonomi Media juga heran melihat kami yang rata-rata memakai tulisan yang sama. Ia bertanya apa yang sedang kami lakukan dengan tulisan itu. Erlangga menceritakan bahwa kami sedang mengobservasi tanggapan orang-orang jika kami menjadi medium untuk semua pesan. “Wah, metodenya menarik juga, ya!” kata Mas Bestian. Demikianlah tanggapan orang-orang ketika saya menjadi medium untuk pesan “Free hug”.

Dari pengamatan saya, apa yang saya lakukan membuktikan pernyataan “The medium is the message” yang dilontarkan oleh McLuhan. Reaksi yang dikemukakan orang-orang berbeda terhadap saya karena sebagai medium, saya membawa pesan tambahan, misalnya yang terkandung dalam gaya saya berpakaian dan kerudung saya. Tak satupun orang asing yang berani memeluk saya.

Mereka hanya melemparkan tatapan curiga dan heran seolah-olah berkata, “Kamu itu berjilbab, tidak seharusnya kamu berjalan-jalan dengan tulisan yang menawarkan pelukan ke orang-orang.” Reaksi yang saya terima dari perempuan yang juga berjilbab tentu berbeda dengan reaksi dari mereka yang tidak menggunakan jilbab. Ketika Josua, teman saya sendiri mengatakan, “Buka dulu jilbab lo, baru gue peluk,” saya baru sadar bahwa beberapa lelaki di sekitar saya mungkin sudah memeluk saya jika saya tak memakai jilbab. Hal ini jelas menunjukkan bahwa jilbab saya memberi pesan tambahan meskipun saya hanya berperan sebagai medium. Teman-teman saya juga menerima respon yang berbeda-beda dan hal ini makin memperkuat pernyataan McLuhan sebab pesan yang dikirimkan oleh dosen saya sama persis.


Dari praktik ini, saya juga belajar bahwa usahakan untuk tidak berbicara dan menertawakan orang dari belakang karena setelah saya mengalaminya, hal itu sama sekali tidak nyaman.