20130924

A concept of being faithful.

Ketika jarak memisahkan, apakah lantas kesetiaan dipertanyakan?
Ketika raga tak lagi berdekatan, apakah lantas keduanya kehabisan alasan untuk mempertahankan?
Tidak.
Kesetiaan bukan diukur dari seberapa jauh selisih lintang dan bujur posisimu dengannya dalam peta.
Berlaku setia berarti menghabiskan perasaanmu untuk satu orang sehingga kamu tak punya apa-apa lagi untuk diberikan ke orang lain.
Kesetiaan berarti membutakan mata dari hal-hal “menyilaukan”, menulikan telinga dari kata-kata yang sepertinya “merdu”, serta membisukan lidah dari kalimat yang membuka “celah” hanya demi satu orang. SATU SAJA.
Mungkin terdengar klise, tapi percayalah, satu orang itu akan datang.
Percayalah, suatu hari nanti datang orang yg tepat. Yang dengannya, kamu mampu membedakan mana yg sebatas angan dan mana yang merupakan target.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Partner yang dengannya kamu punya visi dan misi yg sama.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Yang dengannya, kamu bisa menggunakan kata ganti orang kedua “kamu” tanpa sungkan.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Yang dengannya, kamu tak ragu membicarakan kehidupan bertahun ke depan.

Percayalah, pangeran berkuda putih itu akan datang. Berlaku manis dan tunggulah di kastil!





A (not) very long journey to reach a dream.

Cerita tentang perjuangan meraih impian selalu menarik untuk dicermati. Kisah bagaimana sebuah mimpi berubah menjadi kenyataan selalu mengundang decak kagum, seolah yang dibutuhkan untuk merealisasikannya hanyalah sekantung bubuk keajaiban. Keajaiban akan nasib memang menjadi faktor penentu akhir yang tidak bisa diabaikan. Namun, seorang Filsuf Yunani, Seneca mengatakan, “Luck is what happens when preparation meets opportunity.” Ya, keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi saat persiapan bertemu dengan kesempatan. Ini dunia nyata, tidak ada bubuk ajaib yang bisa mengubahmu dari upik abu menjadi putri yang cantik jelita begitu saja. Dan saya menulis kisah pribadi ini bukan untuk membanggakan diri atau bermaksud jumawa. Saya hanya ingin mengambil sebuah contoh nyata tentang bagaimana sebuah mimpi diwujudkan-bukan sebatas kata- tentang air mata dan senyum di dalamnya. Semoga dapat menginspirasi semua yang membaca.
Sebagai siswi SMA, tentu harapan semua anak adalah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dan perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menjadi incaran utama hampir seluruh siswa SMA di republik ini. PTN seolah menyimpan kilau yang membuat siswa SMA terpesona dan menjadikannya sebagai the next big target dalam hidup. Berbagai kemudahan dari urusan finansial hingga gengsi membuat PTN diburu oleh sekian banyak siswa yang bermimpi bisa mengenakan jas almamater beremblem logo universitas idamannya. Termasuk saya.
Saya waktu itu adalah siswi SMA Negeri 2 Pematangsiantar, sebuah kota kecil yang terletak 3 jam perjalanan dari kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Di kota berhawa sejuk ini saya telah tinggal dan menuntut ilmu dari masa TK hingga SMA. Pada masa penjurusan di kelas XI, saya memilih jurusan IPA. Satu keputusan yang tidak pernah saya sesali hingga saat ini walaupun beberapa orang menyebutnya sebagai suatu kesalahan. Ketika memilih jurusan, saya sama sekali tidak mempertimbangkan apa tujuan saya di jurusan IPA nantinya. Yang saya tahu, pada saat itu di sekolah saya jurusan IPA dianggap keren, dan hampir semua teman-teman saya memilih jurusan itu. Nilai saya di kelas X memang lebih tinggi di bidang IPS. Namun toh, sekolah kami pada saat itu hanya melakukan penjurusan sesuai dengan keinginan siswa tanpa melakukan serangkaian tes. Yang saya ingat, jika nilai kamu lewat dari KKMdan berperilaku baik, maka kamu bisa masuk jurusan IPA. Maka dari itu, di sekolah saya dibuka tujuh kelas jurusan IPA dan hanya tiga kelas untuk jurusan IPS.
Maka dimulailah fase baru kehidupan saya sebagai siswi jurusan IPA. Matematika, fisika, kimia, dan biologi adalah subjek-subjek yang selalu tertera di roster belajar saya. Awalnya, saya merasa biasa saja, bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik, bahkan di semester tiga saya meraih peringkat dua paralel, lalu pada semester empat saya meraih meraih peringkat pertama paralel. Di tengah prestasi tersebut, saya merasa ada yang salah. Saya tidak bisa menikmati proses pembelajaran saya di jurusan IPA. Saya merasa harus berjuang terlalu keras untuk sekedar menghapal rumus perkalian dan penjumlahan sinus cosinus. Dan saya sempat depresi karena tak kunjung paham dengan Hukum II Kirchoff. Bentuk bidang polarisasi unsur kimia juga tak mampu saya kuasai. Dan saya tidak pernah benar-benar antusias mencermati proses metagenesis lumut dan paku.
Namun saya butuh bukti otentik atas segala ketidaknyamanan ini. Saya takut ini hanyalah kejenuhan yang terlalu saya lebih-lebihkan. Lalu saya mulai mengamati nilai-nilai di rapor saya. Benar saja, ternyata yang selama ini “menyokong” saya untuk melaju di tiga besar peringkat paralel justru nilai-nilai non eksakta. Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Sejarah memegang porsi besar dalam hasil akumulasi nilai-nilai saya. Dan saya yakin, jika hanya mengandalkan nilai eksakta saya, maka saya tidak akan pernah berdiri di podium menerima beasiswa peringkat paralel. Di akhir semester empat, saya seperti mendapat “pencerahan” bahwa IPA bukan jurusan yang “gue banget”. Namun, terlambat untuk memutar haluan ke jurusan IPS. Mulai saat itu, setiap bangun tidur di pagi hari, cita-cita saya berganti. Saya bimbang memutuskan apakah harus terus melanjutkan bidang eksakta berdasarkan nilai saya yang cukup lumayan atau memilih mendengarkan kata hati saya. Dan hal itu berjalan selama berbulan-bulan hingga di hari ulangtahun saya, seorang teman mengucapkan harapan agar saya bisa segera memutuskan pilihan atas cita-cita.
Memasuki semester lima. Atau kelas XII. Tahap dimana kamu harus melewati serangkaian ujian demi dua lembar ijazah dan SKHUN. Tahap dimana kamu harus mulai memikirkan mau kemana nantinya. Menilik pada kelabilan saya yang terombang-ambing menentukan jurusan, saya mengikuti sebuah psikotes minat dan bakat. Amat terlambat sebenarnya, tetapi itu lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Serangkaian tes dilakukan dan hasilnya persis seperti dugaan saya. Psikolog menyatakan bahwa minat dan bakat saya di bidang sosial, komunikasi, dan sastra. Non eksakta. Selembar hasil psikotes menjadi acuan saya menentukan jurusan kuliah. Dan saya memutuskan ilmu komunikasi. Mengapa komunikasi? Because I love speaking, writing, and being bising. Hahahahaha. Yang saya tahu saya enjoy saja jika disuruh menulis cerita dua halaman folio bolak-balik dibanding harus mengerjakan tiga soal fisika. Saya hanya jatuh cinta pada komunikasi. Tanpa alasan.
Lalu mulailah saya berburu kampus. Dari awal, saya ingin sekali kuliah di Pulau Jawa. Dimana pun itu asal di Pulau Jawa. Memang saya naif sekali pada waktu itu. Pilihan saya jatuh ke tiga universitas ngetop di negeri ini; UI, Unpad, UGM. Namun, UI telah mengambil porsi besar dalam hati saya. Memakai almamater kuning dengan emblem makara menjadi impian terbesar saya pada waktu itu. Mungkin kelihatannya tidak realistis, seorang siswi jurusan IPA dari SMA di kota kecil ingin kuliah di jurusan IPS universitas terkemuka di negeri ini. Dan yang lebih parahnya, saya mulai memasang lambang makara UI dimana-mana, dari dinding kamar hingga wallpaper laptop. Beberapa orang tertawa melihatnya. Namun saya tidak peduli, saya tidak melepasnya sampai suatu hari.
Hari itu adalah hari pengumuman SNMPTN Undangan. Saya mengajukan ke UI, tetapi bukan jurusan Ilmu Komunikasi. Predikat saya sebagai anak IPA akan menyulitkan saya untuk silang jurusan, begitu saran tentor di bimbel saya. Maka saya memutuskan mengambil jurusan Sistem Informasi karena berkaitan dengan proses penyampaian informasi which is a part of communication’s proccess. Hari itu juga bertepatan dengan pembagian SKHU hasil Ujian Nasional. Saya mendapat nilai tertinggi ketiga se-kota Pematangsiantar pada waktu itu. Dan hal itu membuat semua orang meyakini bahwa tepat pukul 4 sore, saya akan resmi menjadi mahasiswi UI dari jalur undangan. Semua guru dan teman meyakini seperti itu, kecuali saya sendiri.
Pukul setengah lima sore, Kepala Sekolah telah duduk di depan komputer, siap mengetikkan nomor peserta saya. Sebelumnya, seorang teman saya telah dinyatakan lulus Teknik Metalurgi di UI. Suasana kantor guru begitu riuh. Para PKS berkoar bahwa akan ada dua mahasiswa baru UI dari sekolah hari itu. Sebegitu yakinnya mereka padahal nomor saya belum lagi diinput. Dan keyakinan mereka salah. Halaman web terbuka dengan identitas saya di dalamnya beserta tulisan merah berbunyi “Maaf,..” Saya tidak melihat jelas kelanjutannya karena pandangan saya sudah kabur tertutup air mata. Seluruh kantor senyap. Dan itu adalah satu menit paling menyakitkan dalam hidup saya. Sorak sorai berganti ucapan penghiburan, semua sibuk menyiapkan kata-kata “masih banyak jalan lain menuju bangku kuliah.” Ya, sore itu, 27 Mei 2013 saya dinyatakan tidak lulus SNMPTN jalur Undangan. 
Kabar tersiar cepat, sang juara umum tak lulus jalur undangan. Semua sibuk menebak, dimana kesalahan pemilik nilai tertinggi di sekolah. Mereka tak menemukan sebabnya. Maka semuanya menyerbu saya, sibuk bertanya “kenapa kamu bisa gagal?” Dan itu adalah pertanyaan terakhir yang saya butuhkan. Saya membutuhkan tangan yang bisa menarik saya kembali saat saya jatuh, bukannya mulut yang sibuk bertanya kenapa. Mulai dari situ, saya tidak berani bertemu orang banyak karena takut akan pertanyaan wajib tersebut. Mulai hari itu, tidak ada lagi lambang makara di dinding kamar dan di laptop saya. Memandangnya sekilas saja membuat saya mengingat kegagalan itu. Lalu kegagalan akan memancing pertanyaan. Dan saya benci itu.
Di sela-sela masa ketidakjelasan tersebut, saya mengikuti ujian Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS) tahap kedua, psikotest, setelah sebelumnya dinyatakan lulus pada tahap akademik. Dan jujur saja, mengikuti ujian itu bukan murni keinginan saya melainkan keinginan orang tua saya. Demi menyenangkan hati mereka, saya mengikuti tahap demi tahap. Tanpa hati. Karena saya tahu diri, saya tidak akan mampu bertahan selama empat tahun berkutat dengan angka terus menerus walaupun dengan jaminan ikatan dinas.
Dan benar saja. Pada pengumuman tahap dua saya dinyatakan tidak lulus. Saya menangis lagi. Hanya karena saya gagal menuruti keinginan orang tua saya. Namun luka karena mengecewakan orang lain tak pernah sesakit luka karena mengkhianati impian sendiri. Di antara air mata, ada kelegaan besar yang tersimpan. Setidaknya saya masih punya kesempatan untuk menuruti passion saya. Dan ilmu komunikasi tak pernah kehilangan kilaunya di mata saya.
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain akan dibukakan. Hanya tentang seberapa kuat kita mau “mendobrak” pintu itu. Begitu kata Ibu saya. Maka dari itu saya mulai berburu “pintu” yang hendak didobrak melalui jalur ujian tertulis SBMPTN. Ini fase terberat. Memakai jaket kuning berlogo makara ternyata masih menjadi impian saya. Namun, luka tanggal 27 Mei juga belum kering. Saya takut luka yang belum kering itu akan berdarah lagi. Maka dari itu, saya berdamai dengan diri sendiri dan mengalihkan pandangan ke Unpad. Saya memilih Ilmu Komunikasi Unpad, Ilmu Komunikasi UGM, dan Oceonografi Undip karena saya ikut program Campuran. Beberapa orang sempat menertawakan pilihan saya. Mengatakan seharusnya saya cukup realistis dengan menjatuhkan pilihan di universitas Pulau Sumatera. Tapi saya tidak bisa. Saya telah berdamai dengan mengabaikan mimpi memakai makara, saya tidak sanggup jika harus membuang juga mimpi kuliah di Pulau Jawa. Dengan begitu keras kepala, saya mendaftar SBMPTN.
Lalu dimulailah hari-hari perjuangan itu. Lintas jurusan bukan perkara mudah. Dua tahun bersenda gurau dengan tabel periodik dan tiba-tiba harus memahami Break Even Income butuh usaha lebih. Dua tahun mendengar dongeng tentang proses infeksi virus secara litik dan lisogenik lalu tiba-tiba harus memahami mengapa Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya tentu sedikit membingungkan. Saya ingat bagaimana saya dan beberapa teman di IPC setiap harinya harus menjadi warga nomaden dengan berpindah mencari kelas yang mengajarkan materi IPS terlebih dahulu. Tak jarang, kami harus menumpang lagi di kelas sore hari demi mengejar tiga tahun materi IPS dalam waktu 1,5 bulan. Kami menjadi tukang buka tutup pintu bimbel. Datang ketika bimbel baru dibuka dan pulang saat bimbel hendak tutup. Satu hal yang kami yakini bersama, usaha tak akan pernah mengkhianati. Man jadda wa jada.
Confucius mengatakan strategi matang adalah poin penting dalam memenangkan pertarungan. Orang-orang mengatakan siswa jurusan IPA akan unggul dalam bidang matematika dasar di tes tertulis. Tapi saya tahu diri, saya bahkan tak pernah benar-benar paham konsep trigonometri baik differensial maupun integralnya. Dan selalu ada celah jika kita jeli melihatnya. Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia masih bisa dijadikan andalan dalam menghasilkan skor. Maka saya hanya fokus pada dua bidang ini untuk kemampuan dasar. Hingga melakukan suatu langkah ekstrem; mengikuti les privat Bahasa Indonesia. Iya, Bahasa Indonesia. Siapa sangka bahasa yang kita gunakan sehari-hari ternyata menyimpan banyak sekali kaidah yang tak banyak dipahami orang. Sehabis pulang bimbel jam 6 sore, saya melanjutkan les privat dari jam 8 malam hingga pukul 11 malam. Setiap hari, termasuk hari Minggu selama sebulan lebih. Iya, saya mengorbankan semuanya demi satu mimpi. Anggap saja oppurtinity cost yang harus dipenuhi.
Mendekati detik-detik ujian, ada pengumuman pembukaan pendaftaran SIMAK UI. Ujian yang diadakan oleh pihak UI bagi mereka yang masih keras kepala ingin mendobrak pintu masuk UI, termasuk saya. Entahlah, mimpi memakai almamater kuning dengan makara belum juga kehilangan pesonanya di hati saya. Rasa penasaran berpadu dengan impian yang belum kehilangan nyalanya menghasilkan tekad kuat; ini kesempatan terakhir saya mewujudkan mimpi. Maka saya mendaftarkan diri, dengan biaya yang jauh lebih mahal dari tes biasa, tiga ratus ribu untuk dua pilihan dan biaya lima puluh ribu untuk setiap pilihan tambahan. Pilihan saya jelas, komunikasi di tempat pertama, disusul kriminologi, lalu sastra inggris. Sampai sekarang saya tidak mengerti kenapa saya memilih kriminologi dan sastra inggris. Saya hanya punya alasan untuk komunikasi.
Lalu, setelahnya ada lagi pembukaan pendaftaran Ujian Masuk Undip. Lulusan SMA yang belum jelas kuliah dimana ternyata bisa jadi sangat kalap. Saya mendaftar lagi, demi mimpi kuliah jurusan Komunikasi di Jawa. Beberapa orang mencibir, berkata saya serakah dengan mendaftar di semua tes. Mereka lupa kalau saya bahkan belum diterima di mana-mana. Sebagian berkomentar tentang banyaknya uang yang harus dibayar untuk semua pendaftaran itu. Hei, ayah saya saja sebagai penyokong utama finansial saya tidak pernah mempersoalkan hal itu. Butuh kepala yang sangat keras agar tidak bisa ditembus oleh kata-kata tajam semacam itu. Dan atas nama mimpi, I have to go on. 
Selasa, 18 Juni 2013. Hari pertama ujian SBMPTN. Saya mendapat lokasi di FKG USU. Ujiannya TPA dan Kemampuan Dasar. Kalau boleh jujur, soal yang diujiankan jauh beda dengan soal yang biasa diujikan di try out bimbel. But the show must go on. Kerjakan semampu sajalah. Guru english saya semasa SMA pernah berkata, usaha maksimalmu hanya bisa dilakukan sampai sehari sebelum ujian. Pada saat hari H, hanya Tuhanlah yang bisa benar-benar membantu. Dan benar, just face it. Sesusah apapun, yakinlah usaha tidak akan mengkhianati. Hari pertama saya hopeless sehopeless hopelessnya hopeless. Butuh dua batang eskrim stroberi sampai akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan sepupu saya tentang bagaimana ujian hari itu. Itupun menjawabnya sambil menangis. Entahlah, ancaman kuota tinggal 30 persen dan harus bersaing dengan alumni benar-benar mimpi buruk.
Hari kedua. Saya harus ujian dari pagi hingga siang karena ikut program IPC. Satu hal yang ternyata useless. Pada saat ujian kemampuan IPA, saya hanya menatap kertas, ingin segera keluar dari ruangan kalau saja tak dibilang melanggar norma kesopanan. Dan dari 60 soal, saya hanya menyelesaikan sekitar 25 soal yang belum tentu benar juga. Dua tahun belajar IPA dan beginilah hasilnya. Dalam hati saya tertawa miris.
Sesi kedua, kemampuan IPS. Pada sesi ini baru saya menganggap benar-benar penting. Dari 60 soal, saya menyelesaikan sekitar 50 soal, meskipun belum tentu benar juga. Tapi yah, at least I tried. Lalu ujian dinyatakan selesai. Satu hal yang tidak pernah saya lakukan adalah mengecek jawaban saya dengan kunci yang banyak beredar. Prinsip saya; let’s bygone, be bygone. Mengetahui hasil ujian sebelum hasil resmi keluar itu semacam membuat down diri sendiri. Toh kalau kamu tahu jawabanmu salah, bukan berarti kamu bisa mendatangi pengawas untuk menggantinya, kan?
Satu usaha telah dilakukan, tapi satu saja tidak cukup. 30 Juni 2013, ujian SIMAK UI di SMKN 8 Medan. Ujiannya hanya satu hari. Kali ini saya pure IPS jadi masuknya siang. Dan masih tetap tahu diri di kemampuan dasar. FYI, saya hanya mampu menyelesaikan SATU soal matematika dasar dari dua puluh soal yang diberikan. Cukup membuat down mengetahui teman-teman saya rata-rata menjawab lima atau tujuh soal. SATU PER DUA PULUH SOAL. Iya, saya tahu saya hanya bisa banyak-banyak berdoa kali ini. Dengan doa, saya menyelesaikan sesi kedua, kemampuan IPS 60 soal dengan waktu 60 menit. 1 soal 1 menit, dan itu mustahil. Membaca wacana IPS Terpadunya saja sudah memakan waktu lebih dari 5 menit dan ada dua teks semacam itu. Saya tidak sempat menghitung berapa soal yang bisa saya kerjakan. Yang jelas, selesai tes, saya menyempatkan diri untuk berdoa mengingat 1 soal di madas tadi. 
Lalu sampailah pada tanggal 6 Juli 2013. Ujian Masuk Undip di SMAN 1 Medan. Kali ini juga pure IPS. Saya duduk di deretan paling depan. Satu hal yang sedikit membuat miris. Pengawas ujian sampai segitunya memandangi SKHUN saya pada saat pengecekan identitas. Mungkin dia berpikir, “anak ini mau apa lagi ikut ujian yang pure IPS dengan nilai IPA seperti ini?” Ah, Bapak tidak tahu isi hati saya. Hahahaha. Ujian kali ini setara dengan soal UN. Itu kenyataan. Saya yang bego matematika pun bisa mengerjakan 13 dari 20 soal. Serius. Enggak tahu deh benar atau tidak. Hahahaha.
Itu ujian terakhir saya memperjuangkan mimpi kuliah di Jawa jurusan Komunikasi. Sebenarnya saya ingin ikut Ujian Masuk UGM juga, tapi lokasi ujian hanya ada di Pekanbaru and my mom thought it was too far for me. Lagian waktunya hanya selang satu hari dengan UM Undip. Yah, saya mengakhiri touring saya dari satu SMA ke SMA lain perkara ujian. Iya, dalam rentang satu bulan, saya harus ikut empat ujian yang berbeda, termasuk psikotes STIS yang gagal itu hahaha. Dalam satu bulan, empat kali pula bolak-balik Siantar-Medan. Buat adik-adik kelas tiga SMA, kalian juga bakal kayak gitu ntar, kalau nasibnya kayak saya hihihi..
Dua hari setelah ujian Undip, tanggal 8 Juli, pengumuman SBMPTN. Pengumumannya pukul empat sore. Dan yah, saya masih begitu keras kepala dan mendaftar juga ke Unpad untuk D3 dengan jalur seleksi rapor. Sialnya, saya tidak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir pendaftaran. Jadi di tengah-tengah proses input nilai, muncul pemberitahuan masa pendaftaran sudah ditutup. Such a stupid thing I did, huh? Berasa bego banget dan udah ngebuang seratus ribu uang pendaftaran dengan percuma. Dengan kekesalan yang memuncak, saya pulang ke rumah, dari warnet. Sudah pukul empat waktu itu dan saya  tidak berani melihat pengumuman. Niatnya sih melihatnya malam, kalau perlu tengah malam supaya tidak ada yang nanya-nanya hasilnya. 
Di twitter sudah rame saat itu, ada yang alhamdulillah, ada juga yang emoticon sedih. Saya makin jiper. Ternyata handphone saya berdering, dari nomor tak dikenal. Suara perempuan di seberang sana terdengar sumringah. Dia memperkenalkan diri sebagai staff dari bimbel dan mengabarkan saya lulus SBMPTN. Saya terdiam dan bertanya, menang dimana? Dia gantian heran, masa belum melihat pengumuman sepenting ini. Akhirnya dia memberi tahu saya lulus di pilihan pertama Komunikasi Unpad. I still remember that feeling. Merinding. Lalu nangis. It’s like, akhirnya gue kuliaaaah jugaaaaaaaaaaaaaaaa. Yay! Langsung heboh nelponin mama sama ayah yang tinggal nun jauh di luar kota. Reaksi mereka sama, mom nangis dan berkata, akhirnya kamu kuliah juga. What the…
Intinya saya akan kuliah di jurusan Komunikasi dan di Pulau Jawa. How can it be better? Udah ngerasa cukup banget dan melupakan semua hasil tes lainnya. Saya mempersiapkan berkas untuk ke Unpad, SEMUANYA. Bahkan saya sudah menghubungi teman yang tinggal di Bandung agar menyediakan akomodasi selama saya disana hihi. Dia bahkan sudah memberi nomor papanya agar bisa minta jemput saat di bandara. Intinya; saya sudah amat siap berangkat ke Bandung.
Tapi celetukan ayah saya saat saya meminta dipesankan tiket pesawat ke Bandung mengubah segalanya. Kapan pengumuman di UI? Jleb. Euforia saya tentang Bandung terhenti sejenak. Saya masih punya harapan ke UI. Namun, terlalu tamak rasanya jika masih menginginkan UI setelah tes UM Undip saya pun dinyatakan lulus di Komunikasi. Lulus di dua tempat dan harus memilih sudah merupakan kebanggaaan bagi saya. Namun ayah saya berkeras, kita harus tetap tunggu hasil dari UI. FYI, ayah saya tidak tahu cerita satu soal per dua puluh di madas makanya ia bisa sedemikian optimisnya. 
Karena beliau penyandang finansial untuk tiket pesawat dan biaya kuliah, maka saya hanya bisa menuruti saja. Kita sama-sama menunggu tanggal 19 Juli walaupun saya bahkan sudah meminta agar dicarikan kost di Bandung. Seniat itu. 
Tanggal 19 pagi. Pengumuman keluar jam 8 pagi. Jam 8 lebih lima menit. Ada teman yang bertanya bagaimana hasilnya. Baru saya buka situs UI. Input nomor ujian yang menurut saya bagus banget 2024200244. Nomor cantik, kan? Hahahaha. Situsnya terbuka dan voila! Selamat, Anda diterima sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia. Anda resmi menjadi blablabla…. dan di bawahnya tertulis Program Studi Ilmu Komunikasi S1 Reguler. 
Saya terdiam. Benar-benar terdiam. Merasa itu adalah mimpi. Namun dering sms yang banyak masuk menanyakan hasilnya menyadarkan saya itu bukan mimpi. Oke. Oke, saya diterima di UI. Jurusan Komunikasi. Saya akan memakai jaket kuning dengan emblem makara. For several seconds, it all feels like completely a dream. Tapi saya harus bangun, saya harus mengonfirmasi pendaftaran hari itu juga dan mengurus berkas-berkas yang amat sangat banyak dalam waktu dua hari. (Ntar saya ceritain ribetnya ngurus berkas pengajuan biaya operasional hahaha)
Saya mengabari mom and dad. Dan perkataan mom benar-benar ngejleb; gak sia-sia kamu penuhin satu rumah itu dengan lambang UI, ya. Itu hari Jumat, lalu Minggu pagi saya mengejar penerbangan pertama pukul lima pagi karena ada berkas yang harus sampai hari Seninnya. FYI, hari Minggu jam 8 pagi seharusnya saya ikut tes STAN. Tapi dari awal saya ingin ke UI. Saya ingin kuliah di Komunikasi. Dan sekali lagi; kalau punya mimpi harus keras kepala.
Yah, so here I am. Being a maba at University of Indonesia. Cerita ini mungkin gak penting, tapi saya merasa perlu menulisnya sebelum saya lupa bagaimana rasanya mendengar pengumuman-pengumuman itu hahahaha. Tetap semangaaaat!!!