20141120

Gigi Bijak

Pernah dengar istilah "wisdom teeth"?

Istilah ini merujuk pada empat gigi geraham belakang yang tumbuh ketika dewasa. Karena masa dewasa identik dengan kebijakan (sebenarnya tidak juga), maka dinamailah mereka dengan wisdom teeth. Namun, dokter gigi saya lebih suka menyebutnya dengan gigi bungsu karena paling akhir muncul. Bungsu dan bijaksana. Terdengar paradoks, memang. Tapi, keduanya hanya simbol yang maknanya arbitrer, bukan?

Mari beralih dari soal pemberian nama. 

Saya akan bercerita bagaimana empat gigi geraham belakang ini mengajari saya sebuah kebijaksanaan; tentang melepaskan.

Bermula dari sebuah malam yang biasa saja; dengan rutinitas yang sama. Tugas kuliah, kepanitiaan, dan liputan yang menanti untuk diperhatikan. Saya baru ingin membaca bahan untuk tugas kuliah ketika kepala sebelah kanan saya terasa sakit. Rasanya sakit sekali hingga saya tak mampu mencerna kata-kata yang terpampang di layar laptop. Awalnya saya menduga migrain itu disebabkan oleh minus mata saya yang bertambah. Tetapi dugaan itu dipatahkan oleh penglihatan saya yang baik-baik saja ketika memakai softlens dengan minus yang sama. Ditambah lagi, rasa sakitnya tak hanya di kepala bagian kanan, tetapi juga merambat ke leher. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengakhiri aktivitas malam itu dan tidur.

Keesokan harinya, saya bangun dan rasa sakit itu masih ada, tetapi intensitasnya jauh berkurang. Dan hal itu membuat saya masih bisa menjalani aktivitas dengan normal. Namun, malamnya, rasa sakit itu datang lagi. Di sebelah kanan dan merambat ke leher. 


Lalu, rasa sakit itu tak pernah absen mengunjungi saya selama tujuh hari setelah  hari pertama ia datang.


Puncaknya kemarin malam. Sedikit berbeda, sakitnya tidak hanya di kepala sebelah kanan dan leher, tetapi juga di bagian gusi sebelah kanan. Sekitar pukul sebelas malam, saya merasa gusi saya membengkak. Orang tua saya berbicara melalui telepon, "Kamu hanya sakit gigi biasa, minumlah Ponstan dan besok pasti sudah hilang sakitnya."

Saya tak terima. 19 tahun ini saya rajin menyikat gigi setiap mandi, sehabis makan, dan sebelum tidur. Diagnosa sakit gigi sama saja dengan menegasikan upaya saya merawat gigi sepanjang hidup. Semacam tuduhan keji bahwa saya tak mampu merawat apa yang saya punya. "Tapi, gigi saya tak berlubang sama sekali," saya bersikeras di telepon sambil menahan sakit. 

Perdebatan malam itu usai dengan keputusan; saya harus pergi ke dokter gigi secepatnya. 

Hari ini, saya pergi ke sebuah rumah sakit dekat dengan pusat kota. Setelah mengantre cukup lama, akhirnya perawat memanggil nama saya. 

Dokter menanyakan keluhan saya. "Gusi saya bengkak dan tiap malam saya migrain parah, Dok," jawab saya kesal. "Padahal saya rajin sikat gigi," saya menambahkan, mengantisipasi ia berasumsi sama seperti orang tua saya. "Ini bukan sakit gigi biasa, Dok. Sampai ke leher sakitnya," saya masih juga bersikeras.


Dokter wanita itu tersenyum sabar, memeriksa sebentar, dan berkata, "Wah, ini gigi bungsunya sudah kelihatan sedikit. Kamu berapa umurnya? (melihat ke catatan pasien) Iya, biasanya gigi bungsu tumbuhnya di umur segini,"

Saya masih tidak mengerti. Saya pernah melihat sendiri sepupu saya yang demam karena gigi bungsunya tumbuh. Tapi, demamnya sehari, bukan migrain berhari-hari. 

"Saya curiga ada yang salah dengan posisinya ini," ujar wanita berkacamata itu. Ia lalu menyuruh saya berfoto di bagian radiologi dan kembali lagi nanti.

15 menit kemudian, saya datang dengan hasil panoramic rontgent gigi dan rahang saya.

"Lihat, empat gigi kamu posisinya miring. Masih berada di bawah gusi memang, tetapi rahangmu kecil, saya takut keempatnya tidak bisa tumbuh ke permukaan," ia memberi penjelasan.

Ya sudah, biarkan saja kalau begitu, saya menggumam dalam hati. Saya sudah hidup hanya dengan 28 gigi selama 19 tahun dan baik-baik saja. Tetapi, saya tetap menunggu penjelasannya.

"Efeknya, (saya lega ia langsung sampai pada bagian ini) migrain itu akan terus datang karena ada saraf yang tertekan. Dibilang berbahaya sih tidak juga, tapi akan sangat mengganggu," ujarnya.

Barulah saya paham. Empat gigi yang bahkan belum pernah saya lihat wujud aslinya ini yang menyebabkan migrain dan sakit leher berkepanjangan itu. "Lalu bagaimana, Dok?"

"Sederhana, yang terpendam harus dikeluarkan. Atau akan melukai," ia berkata sambil tersenyum. "Walaupun cara mengeluarkannya akan jauh lebih sakit," tambahnya.

Saya terdiam lama, antara terperangah dengan kata-katanya dan penasaran dengan kalimat berikutnya.

"Bedah mulut."

Dua kata yang membuat saya bergidik nyeri. "Tidak ada cara lain, Dok?" saya mencoba mencari cara lain.

"Sayangnya, belum ada," jawabnya. "Bedah mulutnya tidak harus sekarang, tunggu kamu siap. Sampai kamu merasa bagian itu memang harus dilepaskan. Sampai kamu merasa akan lebih baik hidup tanpanya," dia melanjutkan.

Entah kenapa, ada bagian dari diri saya yang merasa tersindir dengan perkataan itu sekaligus membenarkannya. Ia melanjutkan sambil menuliskan resep,

"Saya hanya bisa memberi obat pengurang rasa sakit, bukan penyembuh. Dalam kasus kamu, sembuh berarti melepaskan.

Lalu ia menyuruh saya datang lagi lusa untuk berkonsultasi dengan dokter spesialis bedah mulut. Dari keempat gigi itu, harus dipilih mana yang akan dibuang terlebih dahulu. 


Saya mengucapkan terima kasih kepada dokter yang baik hati itu dan berjalan meninggalkan ruang prakteknya. Beberapa hal baru terlintas di pikiran saya.

Pertama, ada peristiwa yang memang terjadi di luar kontrol saya dan harus saya terima. Bentuk rahang kecil adalah hasil dari proses evolusi selama jutaan tahun yang tak bisa saya ubah. Upaya rajin menyikat gigi sepanjang hidup tak akan mengubah bentuk rahang saya.

Kedua, apapun yang terpendam, pada akhirnya memang harus dikeluarkan jika tidak ingin melukai diri sendiri, meski prosesnya akan terasa lebih sakit di awal. Entah itu empat gigi bungsu atau hal lain yang masih tertinggal. 

Ketiga, tak perlu takut terhadap hasil yang menanti setelah proses pelepasan itu. At least, we do some efforts to dismiss the continuous pain. Entah bedah mulutnya akan berhasil atau tidak nantinya, namun jawabannya akan diketahui jika dan hanya jika "keputusan bedah mulut" diambil. Mungkin hasilnya baik, mungkin hasilnya buruk. Mungkin pengakuanmu akan diterima, mungkin juga ditolak. Mungkin melepaskannya akan membuatmu makin bahagia, mungkin juga tidak. But, when you decide not to ask, the answer is always "no". 

Be brave, anyway!




20112014
I have confessed to you, right?











20141112

Ditolak

Keterusterangan didasari oleh kejujuran
Kata mereka, muaranya adalah kelegaan
Namun, seberapa kita sanggup merelakan
jika keterusterangan berujung penolakan?




12112014
15:58
My journalism paper waits for me.



20140905

Sepatu

Pagi tadi saya masuk kelas Pengantar Pengolahan Data Kualitatif. Dosen saya, Mbak Nadia, menjelaskan poin penting dari penelitian yang bersifat kualitatif. Ia bilang, "Dalam dunia kualitatif, kalian tidak boleh hanya menggunakan etik, tetapi juga emik."

Hampir 3 bulan libur kuliah, saya lupa apa itu etik dan emik. Untunglah, ia menjelaskan.

"Secara gampang, etik adalah pandangan si peneliti, definisi terhadap segala sesuatu, yang kalian bawa ke lapangan. Sementara itu, emik adalah pandangan subjek yang diteliti, apa isi kepala dia tentang suatu hal." 

Oh. Saya pikir saya paham apa yang ia maksud. Menggunakan emik berarti berusaha masuk ke dalam isi kepala subjek yang diteliti dan melihat sebuah fenomena dengan "kacamata" dia. Keluhan Florence di Path mungkin merupakan sesuatu yang buruk bagi saya yang hanya melihat keadaannya dari luar dan tidak mengalami persis apa yang ia alami. Itu jika saya hanya menggunakan etik. Saya "mengukur" keadaan Florence dengan "mistar" milik saya. Padahal, dalam isi kepala Florence, ia tentu punya alasan untuk melakukan tindakan tersebut. Emik menuntut saya untuk memahami alasan itu dengan melepaskan persepsi-persepsi yang saya bawa dari luar.

"Dan itu sulit," Mbak Nadia memperingatkan kami sekelas.

Sepertinya saya pernah mendengar konsep "berusaha menempatkan diri di tempat orang lain" itu sebelumnya.

Ah, ya! Dosen saya yang lain, Mbak Oci, pernah bercerita tentang ungkapan "Put yourself in other people's shoes." Secara umum, idiom ini biasanya merujuk pada sebuah keadaan ketika kita harus mampu ikut merasakan bagaimana rasanya berada di posisi orang lain. 


"Ungkapan itu tidak tepat. Dan juga sulit dilakukan," kata Mbak Oci di kelas Pengantar Ilmu Komunikasi. 


Ya. Memakai sepatu orang lain di kaki kita tidak sama dengan ikut merasakan apa yang sebenarnya ia rasakan ketika memakai sepatu yang sama. 

Katakanlah, sepatu Anda adalah sepatu untuk lari, bermerk tanda centang, bernomor 39, dan Anda merasa perih ketika memakainya karena ternyata ukuran kaki Anda 39-lebih-tetapi-tidak-sampai-nomor-40 ditambah dengan kaus kaki yang tipis dan bekas luka lecet di tumit karena flatshoes yang baru Anda beli sebelumnya masih terlalu kaku. Kemudian, sepatu yang sama dicobakan ke kaki saya yang berukuran 39 dan memakai kaus kaki yang tipis pula. Apakah saya akan merasa perih juga seperti yang Anda rasakan?

Tidak, saya akan merasa nyaman, tanpa masalah. Padahal yang kita kenakan adalah sepatu yang sama. 

Masalahnya sama sekali bukan pada sepatunya, tetapi bagaimana keadaan kaki si pemakai sepatu. Sama sekali bukan tentang keadaan yang harus dihadapi, tetapi bagaimana masing-masing manusia (yang katanya unik) menghadapi keadaan itu. 

Dalam hal ini, saya setuju dengan Mba Oci dan Mbak Nadia. Ikut merasakan apa yang orang lain rasakan itu bukan pekerjaan mudah. Saya harus membuat luka lecet di tumit saya dan memperbesar ukuran kaki saya menjadi ukuran 39-lebih-tetapi-tidak-sampai-nomor-40 (yang entah bagaimana caranya) untuk dapat tepat merasakan apa yang Anda rasakan ketika memakai sepatu lari itu. 


Sekali lagi, itu tidak mudah. 
Tapi, kedua dosen tersebut tidak pernah mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin.





06092014
01:47 WIB
Akhirnya saya mengerti mengapa kamu tak mengerti bagaimana rasanya menjadi saya. 












20140807

Ketidaksadaran, 4 Agustus, dan Kamu

“Komunikasi yang selalu kita lakukan sesungguhnya dikuasai oleh alam bawah sadar. Pesan-pesan yang kita terima dan kirimkan selalu diolah oleh ketidaksadaran terlebih dahulu. Itu sebabnya, manusia akan selalu berubah karena banyaknya pesan-pesan yang ia terima dari lingkungannya, meskipun tanpa ia sadari."

                Kalimat-kalimat itu diucapkan oleh dosen saya di kelas Filsafat Komunikasi. Ia menjelaskan teori ketidaksadaran sambil menunjukkan slide bergambar gunung es. Ya, pikiran manusia diibaratkan sebagai gunung es. Apa yang terlihat di permukaan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan bongkahan yang ada. Apa yang kita utarakan dalam lisan, sesungguhnya melalui proses panjang bernama ketaksadaran.

                Tidak, saya tidak sedang mencoba menulis review untuk bahan ujian semester. Saya hanya ingin menceritakan bahwa enam bulan kemudian, teori itu terbukti; manusia akan selalu berubah dengan dipengaruhi pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya.

                Baiklah, kita mulai saja cerita ini.

                Jika kamu pernah membuka blog ini sebelumnya, mungkin kamu pernah melihat postingan dengan judul angka tingkatan dalam bahasa Inggris. Diawali dengan The Fourth, The Fifth, dan seterusnya hingga The Ninth. Ya, angka-angka itu merujuk pada lamanya hubungan interpersonal yang saya jalani dengan seseorang. Semacam penanda setiap kali durasi hubungan kami bertambah satu bulan.

Sebab saya rasa, sebatas ucapan “happy sixth mensiversarry, baby” terlalu mainstream. Sebab saya kira, hubungan ini begitu  indah hingga semua orang harus tahu betapa bahagianya kami. Sebab saya pikir, dia dan perasaan saya terhadapnya begitu spesial hingga harus ada semacam memoar yang nantinya akan kami kenang sambil tertawa. Sebab, menuliskan kisah-kisah kami adalah sebuah cara untuk mengingatnya lebih lama.

Dulu, saya berpikir seperti itu. Dan saya tak pernah menyesal menuliskannya. Meskipun pada akhirnya, tepat di hari ulang tahun saya yang kesembilan belas, ia membuat saya tak mungkin lagi menuliskan kisah kami dengan judul angka-angka konyol itu.

Hari itu, tanggal empat Agustus baru berlangsung selama dua belas menit.  Ia menelepon saya. Dan, saya berharap ia menyuruh saya keluar rumah dan dia akan berdiri disana, memegang kue tart dengan lilin yang menyala dan balon warna-warni. Lalu saya akan meniup lilinnya, berfoto dengan senyum lebar-mungkin beberapa selfie,  mengunggahnya ke semua social media yang saya punya, menerbangkan balonnya, dan kemudian tidur nyenyak.

Namun, terlalu lama memandangi akun instagram dan path orang-orang dan terlalu sering menonton film bergenre drama membuat “khayalan tentang kejutan ulang tahun yang ideal” terkonstruksi di benak saya. Saya lupa, ia selalu berkata bahwa kami adalah pasangan yang antimainstream. Seharusnya saya juga paham, dia tak akan melakukan ritual mainstream tiup lilin dan foto unyu itu.

Benarlah. Dia memberi saya kejutan yang lain. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan. Satu hal yang tak pernah saya kira akan tega ia lakukan; ucapan “Aku mau kita putus..” setelah ucapan “Selamat ulang tahun, ya.” Ia mengakhiri semuanya, tepat di tanggal spesial yang tertulis di semua kartu identitas saya. Bagaimana saya akan lupa?

                Memang, kami berdua sama-sama paham, hubungan ini memang tak begitu baik sebulan belakangan. Terpisah ratusan kilometer dan sibuk dengan kegiatan masing-masing membuat intensitas komunikasi kami berkurang. Setelah kami berada di satu kota pun, keadaan tak membaik. Saya tahu ada yang salah dalam ini semua. Ia pernah bilang, hubungan ini mulai terasa membosankan, terasa tanpa tantangan.  Mengapa ia tak pergi saja ke Dufan dan mencoba semua wahana yang menantang adrenalin itu, jika benar ia butuh tantangan? Mengapa memutuskan mengakhiri semuanya di tanggal empat Agustus?

                Ada begitu banyak “mengapa” yang berputar-putar di otak saya waktu itu. Dan saya merasa punya kewajiban untuk menanyakannya langsung pada orang yang bersangkutan.

                “Aku gak mau kamu terus-terusan sedih dalam hubungan ini. Ada banyak orang yang bisa bikin kamu lebih bahagia, dibanding aku,” jawabnya.

                Rasanya, saya ingin menceramahinya dengan bahasan logical fallacy-sesat pikir yang saya dapatkan di kelas MPKT A. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa hubungan ini hanya membuat saya sedih? Dan dari premis mana ia bisa menarik kesimpulan bahwa mengakhiri semuanya tepat di hari ulang tahun saya bisa menghentikan kesedihan yang ia asumsikan sendiri itu, bukannya malah membuat saya makin sedih? Silogisme macam apa yang membuatnya menyimpulkan bahwa orang lain akan bisa membuat saya lebih bahagia?

                Tapi, jangankan mendebatnya, lidah saya terasa kelu waktu itu. Bermodal skeptisme, saya nekad memastikan, dia hanya ingin mengerjai saya ala FTV atau tidak. Berkali-kali ia menjawab tidak. Saya ragu hingga ia menjawab dengan nama Tuhan. Saya tahu, saya harus percaya. Inilah pil pahit yang harus saya telan, tanpa bantuan air putih sama sekali. Hanya pil pahit. Dan pilnya semakin pahit ketika saya menyadari, seharusnya tanggal  lima Agustus hubungan ini seharusnya genap empat belas bulan.

                Empat belas bulan yang dijadikan olok-olokan. Empat belas bulan yang kini jadi lelucon. Empat belas bulan yang kini hanya bisa ditertawakan.

                Ini bukan pertama kalinya saya menghadapi hubungan yang berakhir. Tapi, ini jelas pertama kalinya hari ulang tahun saya terasa begitu suram. Walaupun saya merayakan ulang tahun tanpa kehadiran orang tua sejak umur enam belas tahun, merencanakan sendiri dan membeli kue tart sendirian di perayaan ulang tahun saya yang ketujuh belas, serta merayakan ulang tahun kedelapan belas di perantauan saat baru masuk kuliah, itu rasanya lebih baik daripada harus seperti ini.

                Tapi sudahlah.

                Rasanya kita sudah terlalu menyimpang dari pembahasan awal pembuka tulisan ini. Seperti yang saya katakan di awal, orang-orang akan selalu berubah dengan dipengaruhi pesan yang masuk ke dalam ketaksadarannya. Dan lelaki yang dulu saya cintai ini, jelas berubah. Ia bukan lagi orang yang menempuh kemacetan ibu kota selama dua jam dengan sepeda motor hanya karena mendengar saya menangis di telepon. Terakhir kali, ia membiarkan saya menangis di sebelahnya dan hanya menatap lurus ke jalanan, tanpa berniat menghentikan mobilnya atau menghapus air mata saya.

                Ia jelas berubah. Meski saya tak tahu persis pesan-pesan apa yang telah mempengaruhi ketidaksadarannya hingga ia berubah seratus delapan puluh derajat. Namun, jika hipotesis yang sama diajukan ke saya, sedikit banyaknya saya juga pasti mengalami perubahan. Tapi, mengapa perasaan saya tetap sama sementara ia tidak adalah sebuah teka teki.

                Mungkin, pesan-pesan yang masuk mengenai berbagai jenis rangkaian listrik telah merebut tempat kenangan-kenangan kami dalam memori otaknya. Mungkin, bukan hanya kenangan kami yang tergantikan di otaknya, tetapi saya pun tergantikan di hatinya. Entah oleh apa. Entah oleh siapa.

                Mungkin, pesan-pesan yang masuk dari lingkungan sekitarnya telah membuat “kulit bawang” di dirinya menebal, terlalu sulit untuk saya kupas hanya dengan pisau self disclosure. Mungkin, ia mengalami terlalu banyak disonansi kognitif ketika menjalani hubungan ini hingga akhirnya memutuskan saya di hari ulang tahun saya menjadi satu-satunya justifikasi minimal yang dapat melegakan hatinya. Mungkin, saya tak lagi bisa memenuhi harapannya sebagai sosok perempuan ideal (karena saya tak bisa masak dan tak bisa memakai eyeliner dengan benar), hingga saya terlempar ke bawah Comparison Level Alternative-nya dan ditinggalkan begitu saja.

                Namun, jika ditanya bagaimana perasaan saya ketika menuliskan ini, saya dapat mengatakan saya baik-baik saja. Saya sudah berhenti menangis dua jam setelah ia menjatuhkan vonis itu. Dan sampai sekarang, saya tak pernah menangisinya lagi. Bagi saya, ia yang dulu menjadi objek dalam setiap tulisan saya sudah pergi jauh, tergantikan oleh sosok asing yang sama sekali tak saya kenal. Ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi dengan cara itulah saya mampu mengikhlaskannya tanpa beban.

                Dan, apa saya membencinya? Tidak.
               
                Bagaimana pun, ia pernah menjadi orang yang paling berarti. ia pernah menjadi alasan saya menunggu kereta datang berjam-jam hanya untuk melihat sosoknya. Ia satu-satunya yang mendengarkan cerita saya, tentang betapa frustrasinya saya ketika harus menghadapi dosen mata kuliah MPKT A. Ialah yang dulu membangunkan saya jam tiga pagi untuk belajar sebelum ujian SBMPTN. Ia yang menemani saya menangis berjam-jam ketika saya tak lulus SNMPTN. Ia yang dulu selalu membelikan es krim, karena ia tahu saya senang makan es krim. Dan masih sangat banyak hal baik lainnya yang pernah ia lakukan kepada saya.

                Dia adalah orang baik. Saya selalu percaya itu. Jika ia berubah, bukan berarti ia langsung menjadi orang yang jahat. Hidup tak selalu harus diisi dengan dikotomi semacam itu. Maka dari itu, orang baik tak layak dibenci. Jika diingat, tanpanya mungkin saya tak akan menjadi seperti ini, menjalani hidup dengan begitu banyak hal yang bisa disyukuri. Pun darinya, saya banyak belajar hal-hal yang tidak diajarkan di bangku kuliah. Tentang kesabaran, penantian, memaklumi, menerima, dan yang paling penting; mencintai.

                Terakhir, apakah saya masih mencintainya? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jawaban atas pertanyaan itu hanya akan berakhir sebagai sebuah paradoks. Ia memberi saya banyak hal indah yang  bisa dikenang, sekaligus memberi hal-hal terburuk yang akan selalu diingat. Menjalani proses ini dengannya adalah bagian yang saya syukuri, sekaligus saya kutuk di akhir. Dia adalah paradoks. Dia adalah contoh dialektika relasional terbaik dalam hubungan interpersonal saya; saya masih mencintainya dan tidak mencintainya lagi di saat yang bersamaan.


                07082014
                20:04 WIB

                Don’t you dare let our best memories bring you sorrow. 

20140523

Kita dalam Analogi Bawang

Kami berada dalam satu kepanitiaan yang sama saat di SMA. Saya mengurusi bagian acara dan ia menjadi wakil ketua. Saya tak pernah mengenalnya sebelum berada di kepanitiaan ini dan hal yang sama terjadi padanya. Agenda rapat yang dilakukan dengan frekuensi tinggi membuat kami sering bertemu dan berinteraksi. Awalnya hanya seputar masalah acara yang ingin kami selenggarakan. Awalnya seprofesional itu. 

Hari demi hari berlalu. Topik yang kami bahas tak lagi tentang seberapa siap anggota volksong untuk tampil di acara nanti. Kami mulai membahas hal-hal lain di luar kepanitiaan. Lewat obrolan-obrolan itu, ia tahu betapa saya mencintai es krim. Dan saya tahu betapa ia membenci durian-hal yang menurut saya tidak masuk akal sama sekali.

Lalu, acara yang kami selenggarakan berlangsung sukses dan kepanitiaan dibubarkan. Namun, bukan berarti hubungan interpersonal kami ikut bubar. Semakin lama, semakin banyak topik yang kami bahas, terutama mengenai pribadi masing-masing. Tujuh bulan setelah hari pertama kali kami bertemu, ia ingin menamai hubungan yang kami jalani. Dan saya mengiyakan.

Mengiyakan permintaannya berarti menyatakan setuju untuk membagi lebih banyak. Menceritakan pengalaman sehari-hari dengan intensitas tinggi. Mengizinkannya untuk mengetahui hal-hal yang tidak saya bagikan dengan orang lain. 

Kini, hampir dua belas bulan setelah saya hari saat saya mengiyakan permintaannya. Tak terhitung banyaknya informasi yang kami pertukarkan. Topik yang kami bahas tentu berbeda dari hari dimana ia menanyakan nama saya. Ia tentu lebih mengenal saya daripada orang-orang baru yang saya temui di masa perkuliahan ini. 

Saya selalu merasa takjub bagaimana perubahan dari awal kami tak mengenal satu sama lain walaupun berada di sekolah yang sama dan angkatan yang sama hingga bisa sedekat sekarang. 

Dan sebuah teori komunikasi yang saya pelajari di kelas menjelaskan proses ini dengan sangat baik. Teori itu bernama Penetrasi Sosial. Satu konsep yang sangat menarik bagi saya adalah bagaimana Altmann dan Taylor-penemu teori ini-mengibaratkan diri manusia seperti bawang merah yang berlapis-lapis.

Setiap lapis bawang itu merupakan informasi-informasi yang kita miliki tentang diri kita. Dan sebuah hubungan interpersonal bertujuan untuk membuka lapis demi lapis bawang itu. Lapisan luar berisi informasi yang sangat umum dan biasanya diketahui oleh semua orang. Semakin ke dalam, informasi bersifat semakin rahasia. Proses pengungkapan informasi ini dinamakan self disclosure. 

Tingginya intensitas self disclosure inilah yang membuat hubungan kami bergerak dari sebuah hubungan profesional hingga hubungan yang memiliki kedekatan khusus. Dan jika mengikuti analogi yang dikemukakan oleh teori ini, lapisan bawang yang kami "kupas" mungkin sudah sangat tebal. 

Maka muncul pertanyaan di benak saya, ketika lapisan bawang yang tersisa hampir habis, apalagi yang bisa "dikupas"? Jika self disclosure telah mencapai puncaknya, kemana lagi arah hubungan ini?

Teman saya membantah pertanyaan saya ini dengan berkata, "Kamu tidak akan pernah benar-benar mengenal seseorang secara utuh. Lapisan bawangnya tidak akan pernah habis!"

Oke, saya mengalah. Dan mengubah pertanyaannya menjadi, "Jika lapisan bawang yang saya miliki sudah mencapai batas untuk bisa "dikupas" (yang artinya lapisannya masih ada, tetapi tinggal sedikit), kemana hubungan ini akan berujung?

Asumsi terakhir dari teori ini menjawab pertanyaan itu. Asumsi itu berbunyi, "sebuah hubungan juga mencakup tahap depenetrasi dan disolusi." Depenetrasi dan disolusi adalah sebuah tahap penarikan diri yang berujung pada berakhirnya sebuah hubungan interpersonal.

Mungkin, akan ada saat dimana kita kehabisan informasi mengenai diri sendiri untuk dibahas. Saat kita terdiam di telepon, bingung harus membicarakan apa. Saat cangkir kopi menjadi saksi kebungkaman yang terasa menyesakkan. 

Menjauh sejenak mungkin bisa menjadi sebuah cara membangun kembali lapisan-lapisan bawang itu. Agar ada yang bisa kita bicarakan lagi. Agar ada hal-hal yang tak kau ketahui lagi. Agar waktu yang kita habiskan di telepon  bukan lagi menjadi ruang bagi udara yang berputar tanpa kata. Agar setidaknya, diamku dan diammu bisa terpecah berkat si bawang yang kembali utuh. Semoga. 



22 Mei 2014
17:24 WIB
Tolong jangan salah paham. 





Path dan Dialektika Relasional

Siapa tak kenal Path?

Sebuah jejaring sosial yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia karena fitur-fitur yang dimilikinya. Path diklaim sebagai sebuah jaringan sosial yang bersifat lebih personal daripada jejaring sosial sejenis karena seseorang hanya diperbolehkan memiliki maksimal 150 orang teman. Hal ini bukan tak beralasan. Katanya, ada penelitian yang menemukan bahwa manusia hanya bisa memiliki 150 orang terdekat sepanjang hidupnya.

Hadirnya orang-orang terdekat di jejaring yang kita bangun melalui Path membuat momen-momen yang dibagi lebih personal. Bagi saya, merupakan hal yang menyenangkan ketika kita bisa bebas membagikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita tanpa memikirkan apa yang akan orang lain katakan. Toh, Path berisi orang-orang yang benar-benar saya kenal. Contoh konkretnya, ada perbedaan caption yang saya tuliskan bersama dengan foto yang saya posting di Path dan Instagram. Path menjanjikan intimasi yang tidak ditemukan di jejaring sosial lain-setidaknya bagi saya. 

 Namun, dengan tingginya tingkat adopsi Path oleh masyarakat Indonesia, akhirnya Path membolehkan penggunanya untuk berteman dengan 500 orang di Path. Ekspansi yang dilakukan oleh Path ini menimbulkan beragam respon dari penggunanya.

Sebagian pengguna menyambut dengan euforia. Tipikal pengguna macam ini akan menerima semua permintaan pertemanan tanpa pilih-pilih. Memperlakukan Path seperti Facebook. Saya masih ingat di awal-awal pemberlakuan jumlah pertemanan baru itu, linimasa Path saya dipenuhi dengan feeds mengenai jalinan perteman baru yang dibangun oleh teman-teman saya. Seorang teman yang kesal dengan fenomena ini bahkan menjuluki hari-hari itu sebagai "Hari Pertemanan Sedunia".

Sementara, di seberang jalan, terdapat orang-orang yang awalnya merasa senang dengan ekspansi ini. Saya merasa gusar setengah mati ketika semua teman saya sudah bisa menerima lebih dari 150 pertemanan, sementara akun saya belum bisa. Dan saya kegirangan ketika tahu akun saya sudah bisa melakukan hal yang sama. Tetapi beberapa hari kemudian, saya mulai jengah dengan hal itu.  

Mendadak, saya merasa Path begitu penuh dengan permintaan pertemanan dari orang-orang asing yang tak saya kenal. Beberapa permintaan pertemanan datang dari orang yang saya kenal, tetapi hanya sekedar mengenal dalam artian menyapa jika bertemu, bukan orang-orang yang saya kenal secara personal. Dan ini menimbulkan dilema tersendiri. Apakah kita akan menerima permintaan pertemanan mereka dengan risiko memakai kembali "topeng pencitraan" seperti di sosial media lain? Jika tak kita terima, predikat "eksklusif" mungkin akan disematkan pada diri kita-jika kata "sombong" terlalu ekstrem untuk digunakan.

Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengapa saya merasa ingin "berteman" dengan semua orang, tetapi di saat yang bersamaan saya hanya menginginkan orang-orang tertentu yang ada dalam jejaring pertemanan saya?

Bukan, jawabannya bukan karena saya labil.

Sebuah teori komunikasi menjelaskan hal ini. Teori itu bernama Dialektika Relasional. Dalam teori ini disebutkan bahwa manusia cenderung berada dalam kontradiksi-kontradiksi yang saling tarik menarik ketika menjalin sebuah hubungan dengan orang lain. Sederhananya, hubungan tidak dipandang sebagai sebuah hal yang saklek; kita hanya ingin dekat dengan seseorang atau menjauhinya. Bukan seperti itu. Teori ini menganggap sebaliknya. Dalam sebuah hubungan, kita cenderung ingin dekat dengan orang lain sekaligus ingin menjauhinya, walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, fenomena itu terjadi terus-menerus dalam hubungan manusia.

Hubungan saya dengan orang lain yang dimediasi oleh Path, juga sejatinya begitu. Di satu sisi saya ingin berbagi momen-momen dengan orang-orang dalam kehidupan saya. Namun, di sisi lain saya mem-filter siapa orang yang boleh melihat semua momen itu dan momen apa saja yang ingin dibagi. Berbicara teoritis, konsep ini disebut dengan openness and protection. Terbuka, tetapi ingin sekaligus ingin melindungi informasi-informasi personal yang kita miliki. 

Lalu, bagaimana menyikapi kontradiksi ini? Sebab hal-hal yang berisi ketidakstabilan akan cenderung mendatangkan stress secara kognitif. Teori ini juga menawarkan berbagai cara sebenarnya. Namun, saya memilih pola selection, yaitu memutuskan di kubu mana saya ingin menempatkan orang-orang yang dimediasi oleh Path ini; openness atau protection.

Dan saya memilih openness.

Saya ingin Path tetap menjadi seperti tujuan awal ia diciptakan; sebuah jejaring sosial yang menjanjikan ekslusivitas dan intimasi. Maka dari itu, saya menghapus pertemanan dengan beberapa orang yang tidak saya kenal secara personal. Saya ingin kembali bebas mem-posting foto selfie saya tanpa bantuan efek Camera 360 di jejaring sosial. Saya ingin kembali menjadi diri saya yang tanpa topeng di jejaring sosial. Dan sejauh ini, bagi saya hanya Path yang mampu menjanjikan hal itu. 

Dalam memandang perkembangan teknologi, terdapat dua mazhab, yaitu determinisme teknologi dan konstruksi sosial teknologi. Kubu pertama mengatakan bahwa kitalah yang diatur oleh teknologi, sementara kubu kedua berpandangan sebaliknya. Dan saya tak ingin dideterminasi oleh teknologi. Oleh Path. Oleh jejaring yang menurut Immanuel Castell telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Maka dari itu, kita harus bijak menggunakan teknologi, khususnya jejaring sosial yang sangat variatif belakangan ini. Menentukan tujuan dari pemakaian sebuah teknologi bisa menjadi langkah awal untuk tidak menjadi korban dari teknologi. 


23 Mei 2014
16:29 WIB
Maaf, saya menghapus Anda dari jejaring Path saya. 







20140324

The Ninth

Setiap ingin pergi
Izinmu tak pernah jadi
Kau tanya begini,
Apa tak bisa lagi diperbaiki?
Kujawab dalam hati
Ini kesempatan yang terakhir
Terakhir kali yang terjadi belasan kali.

Sekarang izinmu terucap
Pergilah, ujarmu kalap
Kuiyakan tanpa ratap
Meski mendadak semua gelap

Kenangan-kenangan menari salsa dalam kepala
Ingin kubunuh namun rautnya terlampau gembira
Aku tak tega, lalu harus apa?

Pelihara sajalah!
Biarkan kenangan kita tersimpan dimana-mana
Dalam file digital hingga udara
Dari material hingga hanya rasa

Sebab ia menjadi kausa
Kau dan aku masih jadi kita!


24032014
And I have known how break up with you feels like.





20140310

Anime Is Not Just Anime

Minggu ini, dosen saya yang seorang Weberian sejati itu memberi tugas yang lumayan "nyentrik". Kami sekelas ditugaskan mencari quote dari anime dan manga dan menghubungkannya dengan materi minggu selanjutnya. Saya bahkan tak paham bedanya manga dengan anime. Walaupun tugasnya bersifat dependensial alias sunah, tetapi tak ada salahnya kalau dicoba *optimis ceritanya*. 
Saya berhasil menemukan dua quotes seperti yang ditugaskan, tetapi hanya satu yang jadi favorit saya. Ini dia:

Once you've been hurt you learn to hate. But, if you hurt another you become hated. On your shoulders you sense guilt. But it is because one understands such pain, the generosity toward others become second nature. That's what makes us human.”


            Rangkaian kalimat di atas diambil dari anime Naruto Shippuden Episode 128 yang berjudul Tales of A Gutsy Ninja: Jiraiya Ninja Scroll. Jiraiya mengucapkan kalimat itu kepada Nagato ketika Nagato merasa sangat bersalah karena telah membunuh seseorang yang menyakiti Yahiko, teman Nagato.  Nagato mempertanyakan tindakannya dahulu, apakah merupakan sebuah kesalahan atau tidak. Jiraiya mengatakan tidak ada yang dapat menyalahkan Nagato tentang hal itu sebab bagaimana pun juga ia telah melindungi temannya. Namun, Jiraiya percaya justru karena kesalahan-kesalahan semacam itulah Nagato akan menjadi lebih baik nantinya.
            Dalam lingkup Perspektif Kewarganegaraan dalam Masyarakat, quotes di atas berisi nilai tentang tenggang rasa. Seseorang cenderung membenci orang yang menyakitinya. Mengacu pada pengalaman itu, individu belajar untuk tidak menyakiti orang lain karena mengetahui bagaimana rasanya saat disakiti dan dikejar oleh rasa bersalah ketika menyakiti orang lain. Kebencian dan rasa sakit ibarat siklus yang berputar. Konotasinya negatif, tetapi siapa sangka jika kedua hal ini malah menjadi kontrol moral bagi individu agar berbuat baik terhadap sesamanya.
            Nilai tenggang rasa tak sesederhana frasa “saling menghargai” seperti yang dipelajari saat duduk di bangku Sekolah Dasar dulu. Manusia adalah makhluk dengan subjectivity dan self-reference yang sangat tinggi. Ketika kita menghargai orang lain dengan tidak menyakitinya, sesungguhnya kita sedang berusaha melindungi diri kita sendiri dari kemungkinan rasa sakit yang sama. Sebagai contoh, kita tidak menyakiti orang dengan menghina kepercayaannya karena berharap orang lain pun tidak menghina kepercayaan kita sendiri.

Contoh yang paling dekat adalah bagi pengguna social media, berapa kali Anda me-like foto di Instagram teman Anda hanya karena Anda tahu bagaimana rasanya mem-posting sesuatu tapi tak ditanggapi sama sekali, bukannya karena fotonya yang memiliki nilai estetika tinggi? ….it’s because one understands such pain, the generosity toward others become second nature. That's what makes us human.

20140213

Empat Belas

Pukul duabelas sudah sampai, katanya ia lelah
Memikul manik-manik kata yang telah terangkai
berisi doa-doa berbagai corak
Repetisi empat belas Februari terjadi lagi
Hari ini berlabel angka sembilan belas

Menjadi yang pertama begitu penting rupanya
hingga kita terpaksa bertemu di udara
Menunggangi transmisi data
Sembari mengutuk rangkaian regulasi
yang membuat kehadiranku disana alpa

Bercakap melalui senandung virtual yang kadang terputus
Namun dikumandangkan terus
Dan raut bitmap digital yang jarang bisa mulus
Lalu kita beranjak ke bagian yang serius
Kau mau kado apa, tanyaku lurus
Aku bukan anak kecil lagi-ini bukan yang pertama kali, jawabmu ketus

Jelaslah
Kau anggap ini rutinitas tahunan, bagiku ini ritual sakral
Kusebutkan rentetan harapan bak mantera yang dirapal
Tentang mimpi-mimpimu yang dari awal kita ramal
Rahangku bukan tak pegal tapi kuharap doaku kekal
Aminmu menggema dalam keheningan total
Kuharap aku disana, kututup penuh sesal

Pukul dua mengetuk pintu, mengucap salam
Kusambut ia dengan kantuk yang tadinya teredam
Dalam tidur, kulihat kau meniup malam.




P.S: Selamat mengulang tanggal, Kal! I'll see you soon.




14022014
Pas dosen ngatur proyektor, gak liat jam.
       




20140209

The Eighth

Saya benci jarak.
Guru fisika di SMA saya bilang, jarak memperkecil gaya Coulomb yang dialami dua muatan listrik. 
Jarak-yang disimbolkan dengan R- juga mengurangi gaya gravitasi benda dari bumi. Lihat saja astronot dalam film Gravity yang melayang-layang bebas tanpa ada gaya gravitasi nun jauh di luar angkasa.
Belum cukup juga. Jarak memperkecil kapasitas kapasitor keping sejajar. Itu artinya, tak banyak muatan listrik yang bisa disimpan jika kapasitor terpisah terlalu jauh.
Dan di kelas dua belas ia bercerita, jarak juga mengurangi taraf intensitas bunyi. Suara sirine ambulans yang semakin pelan ketika berada di kejauhan dijadikannya sebagai contoh.
Intinya satu; jarak itu melemahkan.

Saya benci jarak.
Jarak telah bertahun-tahun merenggut kebersamaan saya dengan kedua orang tua.
Saya masih terlalu kecil waktu itu-lima belas tahun. Dan sekarang, saya bahkan sudah lupa bagaimana rasanya melihat ayah saya pergi dan pulang kerja. 
Saya hampir lupa bagaimana rasanya masakan ibu saya. 
Dan adik bungsu saya pun tak pernah benar-benar mengenal saya. Karena jarak.
Selain melemahkan, jarak juga menghapus ingatan, rupanya.

Saya benci jarak.

Jarak berafiliasi dengan rindu.

Rindu yang hanya terucap tanpa kemungkinan untuk bertemu hanya akan menjadi kata semu.
Dan rindu yang terendap terlalu lama ternyata mampu mendatangkan luka.
Bukan luka yang bisa mereda dengan larutan povidon-iodin. Pertemuanlah menjadi satu-satunya penawar.
Satu lagi, jarak memberi luka.

Sekali lagi, saya benci jarak.
Kamu pergi dan rasa ini retak.



09022014
22:36 WDT-Waktu Di Laptop