20151211

The Parallel Lines Has Become Perpendicular

Dear the man behind the camera, 

Remember that very very old day when you asked me, "Why are you so keen on words? Why do you choose writings over other activities?" (You might not remember that day cause it took place almost two years ago, but that's okay). 

I bit my lips, then answered, "Cause for me, words are powerful. I can capture and describe my whole world through words!" You nodded your head, but your eyes told me that you doubted my answer. Of course, you doubt it. With your Canon EOS 7D, you can capture this whole universe through another means: pictures. 

Then, there we are. We speak through different languages. I paint the reality in writings, you preserve your moment through images. And we thought we couldn't understand each other.

Even in professional way, I used to write the news, you snapped the pictures, then the editors combined it. Like two parallel lines, our works walked side by side. But, we never crossed the line. 

Maybe you just still didn't understand how I could be so upset in group chat over one typo or non-italic word. And I, well, I didn't get it how you could be so pissed off by a little cropped photo. 


****

Until they decided to make a new project. It required me to make proper captions for your photos. Or else, I had to checked the captions you made on your own before it was published. I didn't say that it was easy. 

You gave me three words as the caption and you said, "Just let the audiences make their own meaning to my work." But I insist, "This is a journalistic photography. We have to make sure that the audiences can get the message clearly, the way what really happened in there. So, we need to give the context to the audience through words. "  

I revised your three-words-caption to one-paragraph-story. I know you were not happy (but I have more power than you, so I did it anyway). But then, the project was going quite good. At that time, we realized one thing; 

We communicate through different means. But, your means complements mine. And vice versa.  The parallel lines has become perpendicular. 

And one day, you thought that we had to give a name to the point where the lines met. I said sceptically and quite too logically, "No, it's unnecessary. Why should we give a label in a first place, if later we just throw so much pain to each other in order to take back that label?" 


You replied, "I'm not going to tell you that everything will always be easy. Being together is never a constant bliss. But, think about this; doesn't it sound good to have someone who always get your back?"



To always have my back. That's it. As simple as that. No candy-coated words at all. There's no "I will make you happy forever" or "We will spend the rest of our lives together." It's just "to always have your back".

And that's enough. I looked back to the past few months and yes, you're there. 

****


You stood there in the rain just to handed me painkiller cream and band-aid in the day I almost broke my toe (Cause your new partner was so reckless stepping out her slippery balcony). Or do you remember the day after, you handled 100 of my quantitative research instruments cause I had to see the doctor? 


And yes, we need reciprocity to make it works. So, how about waiting the messenger for more than 4 hours the day you left your key inside your motorcycle baggage? Or how I chose to stay up late to discuss the choices you had to take immediately while I had to attend important meeting at 7am? 


And yeah, you are right; it's nice to have someone who always get our backs. It's nice having someone whom we can have a real interaction, not an atomised and transactional one. So, happy zwölf! May "I got your back" will always be our favorite words to each other. 



Your reckless partner,

D



P.S.: This what-so-called interpersonal relationship will go through the way I've ever known; one of us will walk out of the door at the end of the day. But before one of us pass that door, please have a glance to this words. To the November 12th. To us. 

20151206

Malin Kundang Zaman Digital






Gerimis selalu menjadikan saya melankolis. Padahal, tes-tes kepribadian itu bilang saya koleris. Ya sudahlah, karakter manusia memang harusnya tak diiris-iris (maklum, saya adalah seorang anti-esensialis).

Ketika sedang jadi melankolis seperti ini, saya senang memutar kenangan-kenangan di kepala saya. Iya, persis seperti memainkan film. Ada tema tertentu. Ada kisahnya. Kenapa begitu? Sebab kalau tidak dikelompokkan, saya jadi pusing. Saya kasih tahu saja ya, kenangan yang datang keroyokan itu menyakitkan. 

Saat ini, saya rindu Ibu. Maka, benak saya memutar film ingatan yang tokohnya perempuan yang sudah tidak saya temui selama hampir dua belas bulan itu. 

***

Saya selalu melabeli Ibu sebagai semi-luddite. Luddite sendiri adalah istilah yang disematkan pada orang-orang yang dengan sadar menolak penggunaan teknologi karena tahu dampak negatifnya. Ibu saya tidak menolak seluruh teknologi, ia hanya menolak ponsel pintar. Ibu lebih memilih menggunakan Nokia gendut ber-keyboard QWERTY yang sebenarnya bisa digunakan untuk mengakses internet meski kecepatannya menyedihkan. 

Namun, bukan berarti Ibu gaptek. Berkat Ayah yang sangat kekinian (punya lebih dari satu ponsel pintar, semua aplikasi chatting, dan semua akun sosial media), Ibu tahu Facebook, Twitter, Instagram, Path, BBM, LINE, dan WhatsApp. Ibu mengonsumsi konten-konten media sosial itu lewat gawai dan  akun Ayah. Makanya, ia tahu apa yang terjadi dengan hidup anak-anaknya yang tinggal di dua pulau yang berbeda.

Saya pernah penasaran dan bertanya. Kenapa tak buat akun Facebook sendiri, Mam?  Ia menjawab. Buat apa? Dengan melihat-lihat dari (akun) punya ayahmu saja sudah cukup, kok. Saya tetap memaksanya untuk menjadi bagian dari masyarakat kekinian. Tidak mau bertukar kabar dengan teman-teman SMA di grup Facebook? Katanya: Enggak, aku bisa telepon teman-teman dekatku. Lebih enak ngobrol langsung. Saya cecar lagi. Tapi kan, di Facebook bisa lihat gambar, kalau lewat telepon tidak bisa. Akhirnya ia bilang: Nanti kalau aku ketagihan main Facebook seharian, yang ngurusin Ayah dan adikmu siapa? Hm, benar juga. 



Bertahun-tahun ibu memegang teguh pendiriannya. Saya sih, salut sama Ibu. Kok bisa, tidak tergoda dengan segala macam mainan modern yang ada di sekelilingnya. Dibanding menenggelamkan diri di depan layar gawai, Ibu lebih memilih menemani adik bungsu saya mengerjakan PR, menjemput les, atau sekedar mengobrol dengan tetangga.

Sepengamatan saya, hidup Ibu jadi lebih sederhana. (Tampaknya) juga lebih bahagia. Ketika meninggalkan rumah, Ibu tak perlu memastikan segala macam kabel charger dan powerbank sudah masuk ke dalam tas atau belum. Buat apa? Ponsel Ibu baterainya tahan dua hari. Ketika berkunjung ke rumah orang lain, Ibu akan menyapa si empunya rumah dengan cara yang pantas, bukannya terburu-buru dan menanyakan di mana letak colokan. Rasanya, Ibu selalu hadir. Sepenuhnya. Perhatiannya tak penah terbelah antara dunia offline dan online. 

Without sophisticated gadget, my Mom seems very peaceful. 


Tapi dua bulan belakangan, Ibu memutuskan menggunakan ponsel pintar milik Ayah dulu. Saya heran. Kenapa?

"Supaya aku tetap bisa lihat anak-anakku lagi apa. Dari Path-mu, aku tahu kamu lagi dimana, sama siapa. Di fotomu di Instagram, aku bisa lihat kamu makannya banyak apa gak di sana. Dari status LINE-mu, aku bisa tahu kamu lagi ngerasain apa." 

Ibu menjawab sambil tertawa. Tanda bercanda. Buat saya; itu tamparan keras. Tiba-tiba, saya ingat bagaimana saya lebih sering check-in di Path dibanding memberi kabar kepadanya. Saya lebih sering mengunggah foto di Instagram dibanding menceritakan langsung kegiatan saya. Bagaimana saya mencari jawaban atas permasalahan hidup dengan melemparkan pertanyaan di Quora, bukannya meminta pertimbangan orang tua. 

Saya jadi bertanya-tanya. Siapa sebenarnya orang tua kita? Yang menunggu kabar di rumah atau sosial media? Tiba-tiba, saya merasa jadi Malin Kundang zaman digital. 


****
Untunglah ada Strinati (2004) yang bisa menjawab rasa penasaran saya lewat gagasannya yang bernama atomisasi. Atomisasi adalah sebuah keadaan dalam masyarakat massa ketika individu-individu menjalin hubungan hanya atas dasar kepentingan transaksional. Misal, orang tua yang sudah lelah bekerja seharian hanya sempat bertemu anaknya di meja makan, itupun hanya menanyakan apakah PR si anak sudah selesai atau belum. Si anak pun akhirnya hanya merespon seperlunya, merasa tak perlu berbagi cerita tentang kegiatannya di sekolah atau keresahan apa yang sedang ia hadapi. 

Gejala ini terjadi pada masyarakat modern yang kehilangan komunitas-komunitas organiknya. Gaya hidup modern memaksa orang-orang untuk menjalani hidup dengan produktivitas tinggi, bekerja 9 to 5 untuk mengejar kestabilan finansial hingga akhirnya lupa untuk berinteraksi secara pantas dengan orang-orang di sekelilingnya. 

Strinati juga meramalkan bahwa interaksi yang transaksional ini akhirnya membuat individu kehilangan moral compass sebagai pedoman untuk bertindak. Kekosongan ini membuat kita mencari panduan-panduan lain yang lebih mudah diakses dan rasanya selalu ada; internet. Internet dengan segala macam kontennya mengisi perasaan resah dalam diri masyarakat massa. Mungkin saya pun sudah demikian teratomisasi sehingga mencari jawaban lewat Quora, bukan bertanya pada orang terdekat. 

Well, now you understand why people watch TedX and why Mario Teguh gets so many loyal followers or why some official LINE accounts who share some advices to cope with your galau feeling are getting popular. We are simply craving for moral compass(es). 

Sayangnya, moral compass yang berasal dari internet ini bukan menyelesaikan keresahan di awal. Ia justru memperparah dan semakin memberi jarak dari interaksi yang sebenarnya. Jahatnya lagi, kebutuhan akan "puk-puk" temporer ini dimanfaatkan oleh pelaku industri budaya untuk melakukan komersialisasi konten dengan tujuan profit (ini sangat seru untuk dibahas sebenarnya, tapi mungkin lain kali, ya). 

****

Kembali ke Ibu. 

Setelah Ibu memakai ponsel pintar dan punya beberapa aplikasi chatting, bagi saya Ibu tetap jadi semi-luddite. Asal tahu saja, kontak BBM dan WhatsApp Ibu hanya tiga; Ayah, saya, dan Adik saya. Begitu pula dengan semua media sosial lainnya. Sangat privat. Ibu hanya ingin tahu kabar kami sekeluarga. Bayangkan, seteguh apa Ibu memegang prinsipnya. 


Bagi saya, Ibu sangat cerdas. Upaya Ibu untuk membentengi dirinya dari paparan media digital yang berlebihan sesungguhnya adalah upaya untuk tidak teratomisasi. Untuk tidak kehilangan momen-momen dengan orang-orang di sekitarnya karena tenggelam dalam dunia maya. Dan saya harus mengulang ini; hidup Ibu (tampaknya) lebih damai. Setidaknya dibanding dengan hidup saya yang dibombardir begitu banyak stimulus dunia digital. 


Ah, Mam. I envy you for having that kind of peace. I just hope someday I can acquire your bravery and shut down all these overwhelming gadgets. 


****


06122015
It's heavy rain outside and the storms keep scaring me. 


P.S.: Gagasan Strinati bisa dinikmati di bukunya yang berjudul The Introduction to Theories of Popular Culture. Oh ya, gambar dipinjam dari sini dan sini.











20151205

It's Called "Empowering"

I borrowed the picture from here

I asked him randomly one day.

"What if I, as a woman, don't want to cook or do any household chores when I get married someday and hire people to do those stuffs for me instead?"

Then, he replied,

"It's okay. It's called empowering. You'll give them jobs. You will reduce unemployment in this country. At some certain point, I think we can call it as "entrepreneurship".

****