20131218

The Sixth

Tik tok.
 Satu detik tak akan pernah mampu untuk menyimpan sebuah kejadian. Namun, detik tak suka hidup sendiri. Ia selalu mencari kawan, berkoloni membentuk menit. Lalu menit-menit ini menjalin diri menjadi jam. Dan jam beraliansi, berekspansi mewujudkan hari. Maka hari adalah detik yang bertransformasi. Detik yang mengalami pubertas dan mampu mereproduksi kejadian dalam rahimnya.

Dan jika tiba saatnya, kejadian ini akan lahir dalam bentuk sebuah proses. Proses apapun memiliki induk yang sama; koloni detik. Pun, sebuah rentang waktu setengah tahun melahirkan sebuah proses bernama adaptasi. Maksudku, sebuah hubungan interpersonal. Semua hubungan merupakan proses adaptasi. Dan semua proses adaptasi pasti melewati tahap-tahap tertentu.

Dan aku baru paham, bahwa sebuah proses adaptasi bukanlah berwujud linear tanpa lekuk. Kurva proses adaptasi membentuk barisan pegunungan. Persis seperti bentang Bukit Barisan di kota yang, aku tahu, sama-sama sedang kita rindukan, Kapten. Aku juga baru paham kalau suatu hari, setelah tahap preparation dan honeymoon yang dijabarkan Ruben dan Stewart dalam bukunya, setelah semua masa-masa bahagia itu, sebuah hubungan akan sampai pada tahap frustration.

Ada masanya ketika percakapan virtual di udara tak lagi mampu membawa tawa. Semua terasa salah. Argumen-argumen berloncatan. Sibuk bertikai mengenai bagaimana seharusnya ini dijalani. Bagaimana definisi sebuah hubungan ideal menurutmu dan menurutku tak lagi sama. Kau tahu, argumen-argumen itu membawa pedang persepsi masing-masing. Gesekan perbedaan persepsi memperburuk keadaan. Dan kita berdua mati-matian menghindar, takut ada yang terluka dan berdarah.

Parahnya, di kurva kita ini tahap frustration bertemu dengan titik redefinition. Aku mempertanyakan kembali definisi "kita" selama ini. Semacam judicial review dari setengah tahun menjadi pacar, ribuan pesan singkat, ratusan kali percakapan di telepon, dan puluhan makan siang bersama. Aku mempertanyakan visi kita yang mulai terdistraksi dan pada satu titik; I almost give up.

Lalu pada sore itu, di tengah gerimis itu, kau membangun teori. Katamu,


"Ibaratnya ada sebuah tembok yang aku bangun, anggaplah dibangun dari seratus batu bata. Dari seratus bata ini, ada dua yang cacat. Menurutmu, apa aku akan langsung merubuhkannya tanpa mempertimbangkan sembilan puluh delapan lain yang baik-baik saja? Why do you just keep your eyes on the bad things we have, instead of the good ones? Can't you?"


Aku benci mengakui ini, tapi sayangnya kau benar, Kapten. Bagaimanapun, kita pernah membelah jalanan bandara Soetta - Depok dengan motor jam dua belas siang saat matahari sedang terik-teriknya. Bagaimanapun juga, kita pernah sama-sama menertawakan rak buku berisi soal-soal latihan Ujian Nasional setelah pengumuman kelulusan. Dan bagaimanapun juga, dalam semua tahap frustration dan redefinition itu; I never lost "that" feeling. 





P.S: Happy half-year, Captain! Don't break the wall, please :p

18122013
19.10
Stuck with final term of Antrophology.













20131130

Half of My Heart

I was born in the arms of imaginary friends. Free to roam, made a home out of everywhere I've been.
Then, you come and crashing in like the realest thing. Trying my best to understand all that your love can bring. 

Half of my heart's got a grip on this situation, half of my heart takes time. 
Half of my heart got's a right mind to tell you that I can't keep loving you with half of my heart.

I was made to believe I'd never love somebody else. I made a plan, stay a man who can only love himself.
Lonely was the song I sang till the day you came. Showing me another way and all that my love can bring.

Your faith is strong, but I can only fall down for so long. Down the road, later on. 
You will hate that I never give more to you than half of my heart.


But I can't stop loving you. I can't stop loving you. I can't stop loving you with half of my heart.


Half of my heart's got a real good imagination, half of my heart's got you.
Half of my heart's got a right mind to tell you that half of my heart won't do.

Half of my heart is a shotgun wedding to a bride with a paper ring.
And half of my heart is the part of man who's never truly loved anything.


-Half of My Heart, John Mayer-

20131124

A Term: Homesick

Berkali-kali mereka memberi nama homesick . Kangen rumah. Tapi saya sendiri bingung memilih terminologi yang tepat untuk menyebut perasaan ingin pulang yang menyelinap masuk tanpa permisi, mengendap di dalam tanpa risih.

Kebingungan saya bukan tanpa alasan. Apa sebenarnya yang telah kita sepakati untuk disebut "rumah"? Cukupkah "bangunan berdinding yang dibangun dengan tujuan proteksi dari bermacam gangguan" menjadi batas definisi? Atau rumah hanya sekedar domisili pengisi kolom alamat di kartu identitas?

Jika mengacu pada definisi semacam itu, maka ini bukanlah homesick. Saya bukannya sedang merindukan bangunan bercat peach di Kota Siantar itu. Apalagi rumah berpagar di Kota Lhokseumawe yang tak pernah saya lihat dan sebatas saya pahami sebagai tempat tinggal kedua orang tua saya. Bukan itu.

Bagi saya, rumah adalah tempat yang diselimuti atmosfer kenyamanan berpadu dengan sense of belonging yang kental, no matter how your condition is. Makna rumah versi saya mungkin terlalu filosofis dari apa yang tercantum dalam KBBI. Tapi biarlah, toh ini bukan tulisan yang akan disetor kepada dosen sebagai LTM yang harus mencantumkan data publikasi. Maka jelas, rumah bagi saya bisa ada dimana saja, tak terbatas pada keberadaan sekat-sekat dinding beton dan lantai keramik.

Lantas, jika rumah bisa berada di mana saja, mengapa saya selalu ingin pulang? Bagaimana bisa lembaran tiket bertuliskan jadwal penerbangan akhir Desember itu terasa sebagai candu untuk mata saya sehingga tak sehari pun saya lewatkan tanpa memandanginya-walau kadang hanya sekilas? Mengapa koper ungu di atas lemari seolah memanggil untuk diisi?


Sederhana saja jawabnya; saya belum merasa nyaman disini. Saya belum menemukan sense of belonging.


Mungkin banyak yang kemudian menuduh tulisan ini jauh dari ungkapan syukur. Universitas impian dengan jurusan sesuai passion, ditambah partner yang berada dalam radius hanya sejam perjalanan. Nyatanya kedua hal tersebut belum mampu merepresentasikan makna rumah sesungguhnya. Mengapa masih merasa kurang?

Entahlah. Saya tak tahu pasti sebabnya. Saya hanya merasa ada beberapa hal yang out of expectation, yang kemudian mengobrak-abrik masterplan awal yang berkembang dalam benak saya. Ada ketimpangan antara harapan dengan realita. Jika ini konteks kenegaraan, mungkin akan lebih gampang menyelesaikan ketimpangan ini; buat saja sebuah tindakan afirmasi, maka rakyat akan senang. Tapi ini bukan negara, tak ada rakyat dan pemerintah yang terpisah dalam benak saya.

Ah, saya sudah menceracau terlalu panjang, nampaknya. Ini hanyalah sepenggal tulisan dengan self-reference yang berlebihan. Ungkapan kegelisahan mahasiswi baru yang rindu kembali ke zona nyamannya, dimana semua hal sesuai dengan harapannya. Suatu hari nanti ia akan paham bahwa tak selalu terjadi sinkronisasi antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Tapi nanti; belum sekarang.


24112013-22:40
-maybe I just feel lonely.



20131106

I Will Stop Loving You

I will stop loving you when there's someone who can prove that Einstein's Postulates are wrong.
I will stop loving you when the F= m.a formula is not valid anymore.
I will stop loving you when Periodic Table gets messed up.
I will stop loving you when two Indifference Curves meet at one point and concave to the origin.
I will stop loving you when Schramm's Communication Model loses its field of experience.


I will stop loving you when Marx's theory about classless society become reality.


I will stop loving you when the axiom "we can not not communicate" is broken.
I will stop loving you when ethnographic method can't explain the culture anymore.
I will stop loving you when Montesque opposes his own Trias Politica model.


I will stop loving you when there's an apple fruit grows in a mango tree on 30th of February.


I will stop loving you when Thor loses his gavel.
I will stop loving you when Isabella Swan gets divorced from Edward Cullen.
I will stop loving you when Doraemon's magic pocket stop producing the stuffs.
I will stop loving you when Shinichi Kudo gets his normal body back.
I will stop loving you when Shichan becomes adult.
I will stop loving you when Spongebob gets his driving licence.


And I will stop loving you exactly when you stop loving me. As simple as that. 

20131104

The Fifth.

365 hari yang lalu
Aku tak pernah menyangka kamu akan mengambil peran sebagai significant others dalam hidupku.

365 hari yang lalu
Aku penganut budaya parokial yang begitu apatis terhadap apa yang mereka sebut cinta.
Bagiku, cinta hanya sebatas ekskresi hormon feromon, dopamin, dan oksitosin
Suatu hari nanti para ilmuwan akan berhasil membuat hormon-hormon itu.
Lalu cinta akan menjadi produk sintesis dan instan.

Dan dengan self-reference yang terlalu tinggi aku menganggap apa yang mereka sebut cinta hanyalah bagian dari dramaturgi.
Seorang pria yang berakting dalam front region demi menyenangkan wanitanya. Lalu atas nama expression given off, sang wanita ikut melanjutkan peran demi menghibur audience.

Cinta hanyalah tentang seberapa lihai kita melakukan impression management di masa pendekatan. Padahal kenyataannya di balik backstage tak pernah seindah itu


365 hari yang lalu
Kamu datang, bukan sebagai pangeran penunggang kuda putih yang hendak membawaku lari dari kastil
Memperkenalkan diri sebagai teman, kamu pelan-pelan melakukan desosialisasi paradigma di benakku.
Lalu memberi perspektif baru dalam resosialisasi yang berjalan berbulan-bulan.

Bahwa cinta bukan sesuatu yang sintesis dan instan, melainkan sebuah proses panjang yang melibatkan amygdala dalam mendefinisikan situasi.
Bahwa dalam mencintai kita tetap bisa menjadi diri sendiri, tak perlu repot membangun setting seperti dalam dramaturgi.
Bahwa dinamika dalam mencintai bukan hanya antara bahagia dan bertengkar, melainkan bisa bertahan antara bahagia dan sangat bahagia.


Bahwa cinta adalah tentang toleransi percakapan teknik mekanika dengan fenomena gunung es dalam komunikasi.


Congratulations, Captain!
Usahamu mengubah gesellschaft menjadi gemeinschaft di antara kita tidak pernah sia-sia
Mungkin kita bisa menciptakan model baru dari kategori solidaritas versi Durkheim;
Solidaritas mekanik yang bercirikan ketergantungan, tetapi tetap mengutamakan collective conscience.
Mungkin kita bisa mendiskusikan namanya siang ini!



P.S:
Aku tau kamu gak ngerti apa yang aku tulis ini. Tapi kalo aku bilang "I love you, much", kamu ngerti kan?
Happy fifth the fifth, Kal!


20131029

Antara A dengan S: Penjurusan atau Penjerumusan?

A dan S hanyalah sebuah goresan garis hitam berbentuk segitiga dan lengkungan. Sebatas simbol yang tak bermakna. Lalu manusia memberinya makna dengan mengkategorikannya sebagai alfabet pertama dan kesembilan belas. Melafalkannya sebagai "a" dan "es". Awalnya sesederhana itu.

Namun kedua simbol ini mengalami kompleksitas ketika disandingkan dengan dua huruf di depannya. I dan P. Sang A menjadi IPA dan si S menjadi IPS. Maka berbagai meaning bermunculan di benak kita. Dan stereotype berhamburan keluar. IPA dan IPS menjadi dikotomi-dua hal yang bertentangan sifatnya.

Di Republik ini, IPA dan IPS menjadi dua genre pembelajaran bagi siswa SMA. IPA mewakili ilmu eksakta dengan ciri khas ujiannya didominasi angka-angka. Sementara IPS merepresentasikan rumpun sosial dengan ciri khas ujian didominasi huruf dalam wacana. Entah apa yang mendasari pembagian genre belajar seperti ini. Mungkin pemikiran pemerintah bahwa penjurusan minat akan memudahkan siswa untuk mempelajari subjek yang lebih spesifik (dengan kata lain lebih sedikit beban kurikulum). Tapi yang jelas, saya menentang-dengan dua alasan utama.

Pertama, penjurusan siswa SMA dalam kedua jurusan tersebut seringkali tidak didasari oleh minat mereka yang sebenarnya. Penjurusan dilakukan oleh pihak sekolah dengan cara melihat nilai rapor saja. Umumnya, standar penjurusan di sekolah-sekolah seperti ini; jika nilai rapor kelas sepuluh dianggap baik, maka siswa "berhak" menentukan pilihan ingin ke IPA atau IPS. Namun, jika nilainya tidak terlalu baik, siswa terpaksa masuk ke kelas IPS. Disini stereotype sudah dibentuk; jurusan IPA berisi anak-anak superior dengan nilai lebih tinggi dari jurusan IPS. Superior dalam artian lebih pintar, lebih rajin, dan kelak lapangan pekerjaannya akan lebih "luas". Stereotype semacam ini menciutkan nyali siswa-siswa pintar yang sebenarnya memiliki minat di rumpun sosial, tetapi takut pada labelling yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat.

Kedua, penjurusan menjadi dua genre semacam ini tidak ada gunanya. Untuk apa membagi siswa menjadi dua kubu jika akhirnya pemerintah membuka Jalur Campuran saat penerimaan mahasiswa baru yang membolehkan dua kubu mengambil jalan tengah? Apakah ini semacam bentuk kebaikan hati pemerintah yang bertujuan "menyelamatkan" siswa yang terlanjur terjerumus dalam jurusan yang keliru-tidak sesuai minatnya? 

Langkah "penyelamatan" dengan membuka jalur campuran bukan solusi. Tidak gampang menyeberang pulau dari A ke S atau sebaliknya. Setelah dilakukan pun, jalur campuran mendatangkan konflik baru karena ramainya siswa jurusan IPA yang hinggap di fakultas bercorak rumpun sosial. Tuduhan "merebut lahan" menjadi santer terdengar, seolah pendidikan adalah tanah kaplingan yang terkotak-kotak dalam ekslusivitas.


Wahai Bapak yang duduk di gedung sana,

Mengapa tak melakukan tindakan preventif dengan menetapkan kewajiban untuk melakukan tes mendalam sebelum penjurusan siswa SMA agar hasilnya lebih komprehensif dan holistik? Terkendala biaya? Lalu, mengapa tak hapuskan saja penjurusan?


Siswa SMA bukan korban, jangan sampai penjurusan malah menjadi penjerumusan. 


20131022

December

Let's try to remember these days back in December. Our lives were very different, I was lonely when we first met.

A small upstairs apartment. Driving through the darkness to get back on before they knew you were even gone.

You don't have to speak because I can hear your heartbeat, fluttering like butterflies searching for a drink.

You don't have to cover up how you feel when you're in love. I always know I'm not enough to even make you think.


Please, slow down, Babe. We're moving way too fast for their world. We gotta make this last. I know it hurts to feel so all alone. I'm by myself more than you could know. If only they were all alone.


I miss you so much, a self-inflicted comma. The days drag on like marathons, running with bare feet.


And when I feel the stress, I'm lonely and depressed, I picture you in the dress you wore four weeks ago..


-Original lyrics: December by Hawthorne Heights- 

Missing so many people in the same time without knowing if they are missing you in return and no chance to meet up are such a very BIG deal :)


20131018

Esai Kompetisi Prestasi Maba UI 2013

Peran Pemuda dalam Memerangi Disintegrasi Laten Penggunaan Bahasa Indonesia di Sosial Media
Dara Adinda Kesuma Nasution
Ilmu Komunikasi
1306460154

            Mendengar kata disintegrasi bangsa, dapat dipastikan dalam benak kita langsung terbayang peristiwa-peristiwa perpecahan besar, seperti kasus lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia ataupun gerakan separatisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Namun, kata disintegrasi tidak melulu soal lepasnya wilayah fisik republik ini. Kata disintegrasi yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan. Perpecahan dapat terjadi dalam sebuah hal sepele yang sering kita abaikan, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
            Kenyataan bahwa bahasa merupakan salah satu simbol pemersatu bangsa tidak dapat dibantah lagi terkait eksistensinya dalam butir ketiga Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia begitu penting hingga disandingkan dengan status tanah air dan kebangsaan Indonesia. Posisi vital bahasa Indonesia diperkuat lagi dengan adanya pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
            Indonesia jelas membutuhkan pemersatu karena sifatnya yang multikultural menghadirkan banyak sekali bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Perbedaan bahasa ini menjadi noise (gangguan) yang menghambat proses komunikasi. Suwardi (1996) menyebutkan hancurnya sistem komunikasi bisa menghancurkan harapan orang untuk berintegrasi. Dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca telah menyatukan rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Bahasa Kita Tidak Lagi Satu
            Ironisnya, bahasa Indonesia sekarang ini hanya dianggap sebagai simbol komunikasi tanpa melihat esensinya sebagai alat pemersatu bangsa. Penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini seringkali tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Penyimpangan ini tentu dapat mencederai integrasi bangsa Indonesia. Ibarat sebuah pita pada pembungkus kado, bahasa Indonesia semestinya tidak hanya dipandang sebagai pemanis belaka, tetapi ia memiliki fungsi lebih yaitu sebagai pengikat yang mempersatukan rakyat Indonesia dari berbagai kalangan.
            Contoh penyimpangan yang paling mudah dilihat sekarang ini adalah penggunaan bahasa Indonesia di sosial media, misalnya Twitter. Jarang sekali kita menemukan sebuah akun Twitter yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan baku. Kalaupun ditemukan akun-akun berbahasa baku, biasanya merupakan akun milik sebuah institusi resmi atau pejabat pemerintahan yang sengaja menunjukkan citra diri yang baik. Namun dalam level masyarakat awam, kaidah kebahasaan dianggap sebagai angin lalu saja.

            Tweet salah seorang pengguna Twitter yang menunjukkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang tidak baku. Diakses dari www.twitter.com pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 17.30 WIB.

            Screencapture di atas merupakan salah satu contoh dari penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah. Kata “laki-laki” hanya disebutkan sebagai ”laki”saja dan penulisan partikel “lah” yang terpisah dari kata sebelumnya. Penyingkatan-penyingkatan yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi penyampaian pesan di Twitter yang dibatasi hanya sebanyak 140 karakter tanpa disadari dapat menghilangkan kesadaran kita untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
            Belum selesai dengan permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah, ada satu masalah mengenai kebahasaan yang muncul di Twitter, yaitu munculnya kosakata-kosakata baru yang tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kosakata seperti cius, miapah, enelan, dan berbagai kosakata lain menjadi lumrah digunakan dalam interaksi sosial media. Awalnya mungkin hanya dimaksudkan sebagai lelucon, tetapi dengan adanya fitur Retweet dan Trending Topic yang membuat sebuah informasi di Twitter merebak cepat dapat mempengaruhi cara kita berkomunikasi. Bahkan, lama-kelamaan dapat menggeser kosakata-kosakata asli yang tercantum dalam KBBI.


            Tweet dari akun resmi grup band Owl City yang menggunakan bahasa Alay, yaitu penulisan dengan huruf dan angka sekaligus. Diakses dari http://i47.tinypic.com/fdzypt.jpg pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 18.37 WIB.

            Dalam screencapture di atas, bahkan personel sebuah band internasional, Owl City, ikut-ikutan menulis dengan bahasa Alay, sebuah bahasa yang jauh dari tatanan kaidah bahasa Indonesia baku. Maka dapat dibayangkan, pesan tersebut akan menyebar ke  800.235 followers-nya dan menjadi Trending Topic sehingga dianggap menjadi sebuah tren baru dan semakin melemahkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baku.

Langkah Kita sebagai Pemuda
            Hasil survei yang dilakukan Yahoo! pada Desember 2008, pengguna internet terbanyak didominasi oleh remaja 15-19 tahun, yaitu sebesar 64 persen.Lebih lanjut dalam survei yang sama dijelaskan bahwa 58 persen waktu penggunaan internet dihabiskan untuk social networking. Dan jumlah pengguna Twitter di Indonesia meraih peringkat kelima di dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 29 juta orang (Brand24, 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas sosial media didominasi oleh pemuda dan pelaku penyimpangan berbahasa Indonesia di media sosial juga merupakan pemuda itu sendiri.
            Sebagai pihak yang dominan mencederai bahasa sendiri, para pemuda harus melakukan resolusi sebelum muncul masalah-masalah baru di bidang ini. Menggugah nasionalisme melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan pemuda sekarang ini bisa jadi dipandang sebagai langkah normatif belaka yang tersendat di level implementasi. Namun, tentu saja masih ada beberapa langkah sederhana tapi nyata yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki keadaan ini.
            Pertama, dalam aktivitas sosial media hendaknya kita berbahasa sesuai dengan status. Jika berstatus sebagai mahasiswa, gunakan diksi-diksi yang merefleksikan tingkat intelektualitas sebagai mahasiswa. Bukan bermaksud memamerkan kemampuan berbahasa, tetapi memang inilah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keadaan.Lebih dari dua belas tahun waktu yang dihabiskan di bangku sekolah untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat disayangkan jika berakhir sebagai formalitas belaka tanpa implementasi nyata. Jika semua pemuda, khususnya mahasiswa memiliki pola pikir seperti ini maka perlahan tapi pasti masalah penyimpangan bahasa Indonesia dapat dikikis habis.
            Yang kedua, pentingnya literasi media dan teknologi di kalangan pemuda. Istilah literasi media dan teknologi dapat disederhanakan menjadi melek media dan teknologi. Artinya, sebagai pemuda kita tidak hanya mengakses semua informasi yang tersebar di sosial media, melainkan dapat menganalisis dan mengevaluasi pesan yang terdapat disana. Langkah ini menjadi penting agar pemuda tidak begitu saja menerima penyebaran bahasa yang tidak sesuai kaidah kebahasaan. Dengan demikian, bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku akan kehilangan pengguna sedikit demi sedikit dan dapat diminimalisasi penggunaannya.
            Ketiga, para pemuda dapat melakukan kampanye mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di sosial media dengan menggunakan hashtag yang unik sehingga menarik minat pemuda lainnya. Di ranah Twitter juga sudah muncul akun-akun yang mengulas tentang bahasa Indonesia yang baik, misalnya @Bahasa_Kita yang membahas kosakata, tata bahasa, dan penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, selama ini belum muncul gerakan dari pemuda itu sendiri secara kolektif. Kampanye ini dapat dilakukan mengingat sebuah teori komunikasi massa dari Schramm dalam Severin dan Tankard (1971) yang disebut dengan Teori Peluru. Teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Apabila pesan “tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan. Maka dapat dibayangkan jika kampanye mengenai kebahasaan dilakukan secara berkesinambungan, efeknya akan sangat besar dan dapat mengembalikan penggunaan bahasa yang sesuai kaidah.
            Langkah-langkah sederhana di atas diharapkan dapat membantu menyelamatkan nasionalisme dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya di tataran sosial media yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pemuda.



Daftar Referensi
Severin, Werner J. & Tankard, James W., Jr. (2011). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Suwardi, Harsono. (Januari 1996). Integrasi Bangsa dalam Perspektif Komunikasi. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritikal Tentang Integrasi Bangsa, Depok.



PS. : Seharusnya ada 3 nama penulisnya disini, it's not pure my idea. Thanks a lot Kak Dinda Larasati and you :))



20131015

Channing Tatum Bukan Kamu.

Saya suka Channing Tatum. Sang aktor tampan dengan sosok atletis berperut kotak-kotak. Aktingnya mumpuni, mulai dari memerankan penari profesional dalam Step Up, lalu menjadi polisi kocak di 21 Jumpstreet, hingga menjelma menjadi pria paling romantis dalam The Vow. Saking sukanya, saya punya satu kalimat "sakti" yang jadi self suggestion whenever I wanna chase something yang bunyinya, "Just run, like Channing Tatum is waiting for you at the finish line." Segitunya.

Tapi,
Channing Tatum bukan kamu.

Ia mungkin piawai mengemudi dalam 21 Jumpstreet tapi dia belum tentu sanggup menembus kemacetan antara kotamu dan kotaku di pagi buta. Just like you did.

Ia juga cekatan mengejar penjahat dalam film yang sama tapi dia bukan kamu yang berjalan tergesa masih dengan jas dan sepatu laboratorium demi menemuiku di stasiun kereta di hari aku ditinggal sendirian ke luar negeri.

Dia bukan kamu yang berjalan satu jam keliling dua mall demi es krim.

Dia bukan kamu yang menghadapi antrean superpanjang hanya untuk tiket film.

Dia bukan kamu yang menelepon pukul tiga pagi sebagai balasan dari pesan nightmare dan homesick yang kukirimkan.

Dia bukan kamu yang membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Mengajakku melawan gravitasi, terbang menguji gaya setripetal, dan memacu adrenalin dari ketinggian 56 meter.


Channing Tatum bukan kamu.


Dan saya jatuh cinta pada kamu.



               
























20131011

How I fell in love with Schramm

Schramm bukan cowok paling ganteng se-FISIP. Schramm juga bukan anak teknik yang oleh teman saya diyakini sebagai diamond in the mud-berlian di dalam lumpur-yang konon katanya selepas masa kuliah, cowok tekniklah yang paling bersinar masa depannya. 

Oke, ini salah fokus.

Schramm, lengkapnya Wilbur Schramm. Penemu salah satu model komunikasi yang menurut saya, just amazing. Beliau menggambarkan model temuannya itu dalam gambar seperti di bawah ini:



Source, encoder, signal, decoder, destination adalah elemen yang udah umum banget dalam komunikasi. Bahkan mulai dari Aristoteles pun punya konsep source dan destination-meski dulu masih sangat sederhana. Lalu Shannon-Weaver juga menggunakan istilah information source dan destination meski dia lebih menekankan pada penggunaan transmitter dan channel, sesuai dengan latar belakang mereka yang teknik banget, eyang Shannon dulunya teknisi telekomunikasi di Bell Telephone Laboratories.


So what does make Schramm different?

Field of Experience. 


Field of experience ini semacam commonness-kesamaan-yang dimiliki oleh dua pihak yang berkomunikasi. 
Semakin lebar irisan field of experience yang dimiliki oleh kedua belah pihak, signal akan lebih mudah disampaikan dan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan source. 

Contoh gampangnya, ada orang asing, katakanlah bule Perancis yang ngomong, "merci beaucoup" kepada orang Indonesia yang gak pernah belajar bahasa Perancis. Source-si bule ini- berhasil meng-encode pesan jadi signal. Dan destinationnya-orang Indonesia berusaha men-decode pesan tadi supaya punya makna di dalam otaknya. Tapi karena gak ada commonness di antara mereka berdua tentang "merci beaucoup", orang Indonesia gak punya pengalaman tentang kalimat itu sebelumnya, there's no same field experience, maka signal tidak akan bisa tersampaikan dengan baik. Kalo signal gak tersampaikan dengan baik, jangan harap efek yang diharapkan bakal muncul.


And that's how a relationship works, too.


Inti dari semua persoalan cinta bertepuk sebelah tangan, friendzone, munculnya istilah PHP, a break up, even a serious case like a divorce adalah commonness yang gak ada-atau udah luntur. Iya. Percaya nggak?

Kenapa sampai muncul istilah PHP? Ya karena satu pihak udah mati-matian ngasih kode, tapi pihak yang satunya lagi mengartikannya beda karena field of experiencenya gak sama-yang satu nganggepnya serius banget, satunya cuma nganggep biasa aja. No commonness. 



So the point of making a relationship works is to expand the commonness in both field of experiences. 


Dan itu gak gampang :p

20131006

The Fourth.

Untuk yang lahir pada hari pada tanggal empat belas.

Sudah empat kali bulan berotasi mengelilingi bumi sejak hari itu. Hari Rabu yang sedatar biasanya, dengan setumpuk buku rumus dan kumpulan soal IPC. Dengan sederet jadwal kelas intensif dan janji diskusi dengan tentor. Masih dengan setitik noktah harapan tentang satu bangku di Perguruan Tinggi.

Lalu kita berjanji untuk makan siang bersama hari itu. Seperti belasan makan siang lainnya yang sudah kita lewati. Sebagai teman. Atau sedikit berbaik hati menyebutnya teman dekat.

Di tempat yang sama, menu yang sama. Kau dengan segelas es jeruk dan aku dengan segelas lemon tea. Tak ada pembicaraan khusus apapun kecuali ledekanmu tentang perempuan yang tak pernah diberi boneka selama 17 tahun hidupnya. Perempuan yang lebih sering diberi buku sebagai hadiah ulang tahunnya. Dan perempuan itu aku.

Kemudian kita pulang. Kau mengantarku pulang, tepatnya. Tapi kau memutuskan singgah untuk mengambil foto-foto kita saat liburan lalu. Dan foto-foto saat perpisahan SMA, kau dengan jas abu-abu dan aku dalam balutan gaun ungu.

Ini kunjunganmu yang entah keberapa puluh kalinya ke rumahku. Dari sekedar membagi cerita tentang jengahnya kita pada sistem penerimaan mahasiswa baru tahun ini sambil ditemani sebatang es krim stroberi hingga belajar teori gas ideal dan dua postulat Einsten. Lagi-lagi, sebagai teman.

Namun hari itu ada yang berbeda. Boneka lumba-lumba ungu di kamarku persis seperti yang kuceritakan berbulan yang lalu. Entah bagaimana kau masih ingat. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, perempuan itu diberi boneka. Boneka yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Dan boneka itu tidak sendirian. Ada tulisan penyemangat disana. Iya, kau satu-satunya yang mengulurkan tangan ketika semua mulut sibuk bertanya kenapa aku gagal. Dan di balik tulisan penyemangat itu, satu kalimat tanya mengubah semuanya. Kau ingin memberi nama pada apa yang kita jalani setengah tahun ini.

Aku terdiam. Sistem limbic dalam otakku mencoba tenang agar bisa memberikan jawaban yang tepat dari Neocortex, bukannya jawaban gegabah dari R-Complex yang nantinya akan kusesali. Kita sama-sama paham, ini sama sekali bukan hanya tentang kira berdua. Kita sama-sama mendengar semua rumor yang beredar.


Tapi kau telah berdiri di bibir pintu dengan setangkai mawar. Lalu semuanya jelas. You decided to take the highest risk FOR US. Apalagi yang bisa kuberikan selain anggukan kepala? Dan 5 Juni 2013, I officially became your Vice Captain in our cockpit.

Selamat tanggal 5 yang keempat, Kapten. Beyond all the fights, the worst nights, our ups and downs, the hesitations; I love you, much.

20131003

They called it "culture shock".

"Loe pas pertama nyampe sini ngalamin culture shock gak?"


Pertanyaan sederhana dari seorang teman di pelataran masjid kampus sore itu. Saya terdiam sejenak, mengingat-ingat hari pertama saya berada di kampus ini. Dan ingatan saya berlari menuju hari dimana saya harus mendaftar ulang. Pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat sejuta umatnya kampus ini-Balairung.

24 Juli 2013, hari Rabu. Saya diminta datang ke kampus pada pukul 11.00 untuk mengonfirmasi kelulusan saya sebagai mahasiswa baru di kampus ini. Sendirian, literally. Teman-teman dari sekolah saya tidak ada yang diterima melalui jalur dan program yang sama dengan saya dan ayah saya yang ikut mengantar harus kembali sehari sebelum pendaftaran ulang karena telepon genggamnya tak bisa bungkam, penuh dengan panggilan mengenai pekerjaan setiap pagi selama ia disini.

Jadilah saya, mengenakan kemeja putih sesuai dresscode untuk maba, berangkat dari kost diantar tukang ojek, celingukan sambil memegang map biru berisi seluruh berkas yang diperlukan. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara dan hanya mengikuti alur pendaftaran melalui petunjuk arah yang disediakan petugas. Waktu itu bulan puasa dan yah, antreannya cukup panjang. Butuh kesabaran ekstra demi selembar kartu tanda mahasiswa.

Dalam antrean, beberapa mahasiswa baru sudah saling berinteraksi. Topik mainstreamnya adalah; kebanggaan mereka atas keberhasilan "mendobrak" pintu masuk universitas ini melalui jalur mandiri reguler dengan subtopik; apa saja pilihan jurusan yang diambil pada saat tes. Saya menyimak obrolan mereka dan telinga saya menangkap sesuatu yang asing.

"Loe pas SIMAK kemarin ambil apa aja? Kalo gue, sih emang pengen banget jurusan ini. Oh iya, ntar siang kelar jam berapa sih? Pasti gerah banget ni Depok, demi apa gue harus bawa motor sendiri."


Saya heran.
Kata ganti yang mereka gunakan untuk menyebut lawan bicara berbeda dengan apa yang saya gunakan selama 17 tahun berada di dunia. Cara mereka berbicara berbeda dengan cara saya berbicara dengan keluarga dan teman-teman saya. Pilihan kata mereka jatuh pada diksi yang selama ini hanya saya dengar di film dan sinetron khas ibukota. 


Semuanya berbeda.
Tiba-tiba saya merasa menjadi alien yang terdampar di kumpulan manusia. Saya mengurungkan niat mencari teman hari itu. Memperkenalkan diri berarti harus mengeluarkan suara, melafalkan kata, dan merangkai kalimat. Dan saya takut logat khas Medan saya yang berbeda lalu dianggap aneh. Bukan berarti saya tidak bangga dengan asal saya. Namun, pada hari itu, saya takut penolakan. Maka sepanjang hari itu saya hanya diam, tak bersuara kecuali saat menjawab pertanyaan petugas tentang ukuran jas almamater.

Pada hari itu saya tak tahu bahwa ada nama untuk kejadian yang saya alami. Ada penjelasan kenapa saya merasa seperti alien pada hari itu hanya karena perbedaan bahasa. They called it culture shock.


Culture shock revers to the whole set of feelings about being in an alien setting, and the ensuing reactions. It's a chilly, creepy feeling of alienation, of being without some of the most ordinary, trivial (and therefore basic) cues of one's culture of origin.

                                         -Conrad Phillip Kottak in Cultural Anthropology-

"Ya, awalnya."
 Saya menjawab pertanyaan teman saya itu. Dia mengangguk dan sepertinya paham bahwa itu wajar untuk pendatang seperti saya. Lalu ia bilang,


"You have to make more efforts in adaptations. It takes time, but it's worth it to survive." 


20130924

A concept of being faithful.

Ketika jarak memisahkan, apakah lantas kesetiaan dipertanyakan?
Ketika raga tak lagi berdekatan, apakah lantas keduanya kehabisan alasan untuk mempertahankan?
Tidak.
Kesetiaan bukan diukur dari seberapa jauh selisih lintang dan bujur posisimu dengannya dalam peta.
Berlaku setia berarti menghabiskan perasaanmu untuk satu orang sehingga kamu tak punya apa-apa lagi untuk diberikan ke orang lain.
Kesetiaan berarti membutakan mata dari hal-hal “menyilaukan”, menulikan telinga dari kata-kata yang sepertinya “merdu”, serta membisukan lidah dari kalimat yang membuka “celah” hanya demi satu orang. SATU SAJA.
Mungkin terdengar klise, tapi percayalah, satu orang itu akan datang.
Percayalah, suatu hari nanti datang orang yg tepat. Yang dengannya, kamu mampu membedakan mana yg sebatas angan dan mana yang merupakan target.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Partner yang dengannya kamu punya visi dan misi yg sama.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Yang dengannya, kamu bisa menggunakan kata ganti orang kedua “kamu” tanpa sungkan.
Percayalah, suatu hari nanti akan datang orang yang tepat. Yang dengannya, kamu tak ragu membicarakan kehidupan bertahun ke depan.

Percayalah, pangeran berkuda putih itu akan datang. Berlaku manis dan tunggulah di kastil!





A (not) very long journey to reach a dream.

Cerita tentang perjuangan meraih impian selalu menarik untuk dicermati. Kisah bagaimana sebuah mimpi berubah menjadi kenyataan selalu mengundang decak kagum, seolah yang dibutuhkan untuk merealisasikannya hanyalah sekantung bubuk keajaiban. Keajaiban akan nasib memang menjadi faktor penentu akhir yang tidak bisa diabaikan. Namun, seorang Filsuf Yunani, Seneca mengatakan, “Luck is what happens when preparation meets opportunity.” Ya, keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi saat persiapan bertemu dengan kesempatan. Ini dunia nyata, tidak ada bubuk ajaib yang bisa mengubahmu dari upik abu menjadi putri yang cantik jelita begitu saja. Dan saya menulis kisah pribadi ini bukan untuk membanggakan diri atau bermaksud jumawa. Saya hanya ingin mengambil sebuah contoh nyata tentang bagaimana sebuah mimpi diwujudkan-bukan sebatas kata- tentang air mata dan senyum di dalamnya. Semoga dapat menginspirasi semua yang membaca.
Sebagai siswi SMA, tentu harapan semua anak adalah dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dan perguruan Tinggi Negeri (PTN) masih menjadi incaran utama hampir seluruh siswa SMA di republik ini. PTN seolah menyimpan kilau yang membuat siswa SMA terpesona dan menjadikannya sebagai the next big target dalam hidup. Berbagai kemudahan dari urusan finansial hingga gengsi membuat PTN diburu oleh sekian banyak siswa yang bermimpi bisa mengenakan jas almamater beremblem logo universitas idamannya. Termasuk saya.
Saya waktu itu adalah siswi SMA Negeri 2 Pematangsiantar, sebuah kota kecil yang terletak 3 jam perjalanan dari kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Di kota berhawa sejuk ini saya telah tinggal dan menuntut ilmu dari masa TK hingga SMA. Pada masa penjurusan di kelas XI, saya memilih jurusan IPA. Satu keputusan yang tidak pernah saya sesali hingga saat ini walaupun beberapa orang menyebutnya sebagai suatu kesalahan. Ketika memilih jurusan, saya sama sekali tidak mempertimbangkan apa tujuan saya di jurusan IPA nantinya. Yang saya tahu, pada saat itu di sekolah saya jurusan IPA dianggap keren, dan hampir semua teman-teman saya memilih jurusan itu. Nilai saya di kelas X memang lebih tinggi di bidang IPS. Namun toh, sekolah kami pada saat itu hanya melakukan penjurusan sesuai dengan keinginan siswa tanpa melakukan serangkaian tes. Yang saya ingat, jika nilai kamu lewat dari KKMdan berperilaku baik, maka kamu bisa masuk jurusan IPA. Maka dari itu, di sekolah saya dibuka tujuh kelas jurusan IPA dan hanya tiga kelas untuk jurusan IPS.
Maka dimulailah fase baru kehidupan saya sebagai siswi jurusan IPA. Matematika, fisika, kimia, dan biologi adalah subjek-subjek yang selalu tertera di roster belajar saya. Awalnya, saya merasa biasa saja, bisa mengikuti semua pelajaran dengan baik, bahkan di semester tiga saya meraih peringkat dua paralel, lalu pada semester empat saya meraih meraih peringkat pertama paralel. Di tengah prestasi tersebut, saya merasa ada yang salah. Saya tidak bisa menikmati proses pembelajaran saya di jurusan IPA. Saya merasa harus berjuang terlalu keras untuk sekedar menghapal rumus perkalian dan penjumlahan sinus cosinus. Dan saya sempat depresi karena tak kunjung paham dengan Hukum II Kirchoff. Bentuk bidang polarisasi unsur kimia juga tak mampu saya kuasai. Dan saya tidak pernah benar-benar antusias mencermati proses metagenesis lumut dan paku.
Namun saya butuh bukti otentik atas segala ketidaknyamanan ini. Saya takut ini hanyalah kejenuhan yang terlalu saya lebih-lebihkan. Lalu saya mulai mengamati nilai-nilai di rapor saya. Benar saja, ternyata yang selama ini “menyokong” saya untuk melaju di tiga besar peringkat paralel justru nilai-nilai non eksakta. Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Sejarah memegang porsi besar dalam hasil akumulasi nilai-nilai saya. Dan saya yakin, jika hanya mengandalkan nilai eksakta saya, maka saya tidak akan pernah berdiri di podium menerima beasiswa peringkat paralel. Di akhir semester empat, saya seperti mendapat “pencerahan” bahwa IPA bukan jurusan yang “gue banget”. Namun, terlambat untuk memutar haluan ke jurusan IPS. Mulai saat itu, setiap bangun tidur di pagi hari, cita-cita saya berganti. Saya bimbang memutuskan apakah harus terus melanjutkan bidang eksakta berdasarkan nilai saya yang cukup lumayan atau memilih mendengarkan kata hati saya. Dan hal itu berjalan selama berbulan-bulan hingga di hari ulangtahun saya, seorang teman mengucapkan harapan agar saya bisa segera memutuskan pilihan atas cita-cita.
Memasuki semester lima. Atau kelas XII. Tahap dimana kamu harus melewati serangkaian ujian demi dua lembar ijazah dan SKHUN. Tahap dimana kamu harus mulai memikirkan mau kemana nantinya. Menilik pada kelabilan saya yang terombang-ambing menentukan jurusan, saya mengikuti sebuah psikotes minat dan bakat. Amat terlambat sebenarnya, tetapi itu lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Serangkaian tes dilakukan dan hasilnya persis seperti dugaan saya. Psikolog menyatakan bahwa minat dan bakat saya di bidang sosial, komunikasi, dan sastra. Non eksakta. Selembar hasil psikotes menjadi acuan saya menentukan jurusan kuliah. Dan saya memutuskan ilmu komunikasi. Mengapa komunikasi? Because I love speaking, writing, and being bising. Hahahahaha. Yang saya tahu saya enjoy saja jika disuruh menulis cerita dua halaman folio bolak-balik dibanding harus mengerjakan tiga soal fisika. Saya hanya jatuh cinta pada komunikasi. Tanpa alasan.
Lalu mulailah saya berburu kampus. Dari awal, saya ingin sekali kuliah di Pulau Jawa. Dimana pun itu asal di Pulau Jawa. Memang saya naif sekali pada waktu itu. Pilihan saya jatuh ke tiga universitas ngetop di negeri ini; UI, Unpad, UGM. Namun, UI telah mengambil porsi besar dalam hati saya. Memakai almamater kuning dengan emblem makara menjadi impian terbesar saya pada waktu itu. Mungkin kelihatannya tidak realistis, seorang siswi jurusan IPA dari SMA di kota kecil ingin kuliah di jurusan IPS universitas terkemuka di negeri ini. Dan yang lebih parahnya, saya mulai memasang lambang makara UI dimana-mana, dari dinding kamar hingga wallpaper laptop. Beberapa orang tertawa melihatnya. Namun saya tidak peduli, saya tidak melepasnya sampai suatu hari.
Hari itu adalah hari pengumuman SNMPTN Undangan. Saya mengajukan ke UI, tetapi bukan jurusan Ilmu Komunikasi. Predikat saya sebagai anak IPA akan menyulitkan saya untuk silang jurusan, begitu saran tentor di bimbel saya. Maka saya memutuskan mengambil jurusan Sistem Informasi karena berkaitan dengan proses penyampaian informasi which is a part of communication’s proccess. Hari itu juga bertepatan dengan pembagian SKHU hasil Ujian Nasional. Saya mendapat nilai tertinggi ketiga se-kota Pematangsiantar pada waktu itu. Dan hal itu membuat semua orang meyakini bahwa tepat pukul 4 sore, saya akan resmi menjadi mahasiswi UI dari jalur undangan. Semua guru dan teman meyakini seperti itu, kecuali saya sendiri.
Pukul setengah lima sore, Kepala Sekolah telah duduk di depan komputer, siap mengetikkan nomor peserta saya. Sebelumnya, seorang teman saya telah dinyatakan lulus Teknik Metalurgi di UI. Suasana kantor guru begitu riuh. Para PKS berkoar bahwa akan ada dua mahasiswa baru UI dari sekolah hari itu. Sebegitu yakinnya mereka padahal nomor saya belum lagi diinput. Dan keyakinan mereka salah. Halaman web terbuka dengan identitas saya di dalamnya beserta tulisan merah berbunyi “Maaf,..” Saya tidak melihat jelas kelanjutannya karena pandangan saya sudah kabur tertutup air mata. Seluruh kantor senyap. Dan itu adalah satu menit paling menyakitkan dalam hidup saya. Sorak sorai berganti ucapan penghiburan, semua sibuk menyiapkan kata-kata “masih banyak jalan lain menuju bangku kuliah.” Ya, sore itu, 27 Mei 2013 saya dinyatakan tidak lulus SNMPTN jalur Undangan. 
Kabar tersiar cepat, sang juara umum tak lulus jalur undangan. Semua sibuk menebak, dimana kesalahan pemilik nilai tertinggi di sekolah. Mereka tak menemukan sebabnya. Maka semuanya menyerbu saya, sibuk bertanya “kenapa kamu bisa gagal?” Dan itu adalah pertanyaan terakhir yang saya butuhkan. Saya membutuhkan tangan yang bisa menarik saya kembali saat saya jatuh, bukannya mulut yang sibuk bertanya kenapa. Mulai dari situ, saya tidak berani bertemu orang banyak karena takut akan pertanyaan wajib tersebut. Mulai hari itu, tidak ada lagi lambang makara di dinding kamar dan di laptop saya. Memandangnya sekilas saja membuat saya mengingat kegagalan itu. Lalu kegagalan akan memancing pertanyaan. Dan saya benci itu.
Di sela-sela masa ketidakjelasan tersebut, saya mengikuti ujian Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS) tahap kedua, psikotest, setelah sebelumnya dinyatakan lulus pada tahap akademik. Dan jujur saja, mengikuti ujian itu bukan murni keinginan saya melainkan keinginan orang tua saya. Demi menyenangkan hati mereka, saya mengikuti tahap demi tahap. Tanpa hati. Karena saya tahu diri, saya tidak akan mampu bertahan selama empat tahun berkutat dengan angka terus menerus walaupun dengan jaminan ikatan dinas.
Dan benar saja. Pada pengumuman tahap dua saya dinyatakan tidak lulus. Saya menangis lagi. Hanya karena saya gagal menuruti keinginan orang tua saya. Namun luka karena mengecewakan orang lain tak pernah sesakit luka karena mengkhianati impian sendiri. Di antara air mata, ada kelegaan besar yang tersimpan. Setidaknya saya masih punya kesempatan untuk menuruti passion saya. Dan ilmu komunikasi tak pernah kehilangan kilaunya di mata saya.
Ketika satu pintu tertutup, pintu lain akan dibukakan. Hanya tentang seberapa kuat kita mau “mendobrak” pintu itu. Begitu kata Ibu saya. Maka dari itu saya mulai berburu “pintu” yang hendak didobrak melalui jalur ujian tertulis SBMPTN. Ini fase terberat. Memakai jaket kuning berlogo makara ternyata masih menjadi impian saya. Namun, luka tanggal 27 Mei juga belum kering. Saya takut luka yang belum kering itu akan berdarah lagi. Maka dari itu, saya berdamai dengan diri sendiri dan mengalihkan pandangan ke Unpad. Saya memilih Ilmu Komunikasi Unpad, Ilmu Komunikasi UGM, dan Oceonografi Undip karena saya ikut program Campuran. Beberapa orang sempat menertawakan pilihan saya. Mengatakan seharusnya saya cukup realistis dengan menjatuhkan pilihan di universitas Pulau Sumatera. Tapi saya tidak bisa. Saya telah berdamai dengan mengabaikan mimpi memakai makara, saya tidak sanggup jika harus membuang juga mimpi kuliah di Pulau Jawa. Dengan begitu keras kepala, saya mendaftar SBMPTN.
Lalu dimulailah hari-hari perjuangan itu. Lintas jurusan bukan perkara mudah. Dua tahun bersenda gurau dengan tabel periodik dan tiba-tiba harus memahami Break Even Income butuh usaha lebih. Dua tahun mendengar dongeng tentang proses infeksi virus secara litik dan lisogenik lalu tiba-tiba harus memahami mengapa Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya tentu sedikit membingungkan. Saya ingat bagaimana saya dan beberapa teman di IPC setiap harinya harus menjadi warga nomaden dengan berpindah mencari kelas yang mengajarkan materi IPS terlebih dahulu. Tak jarang, kami harus menumpang lagi di kelas sore hari demi mengejar tiga tahun materi IPS dalam waktu 1,5 bulan. Kami menjadi tukang buka tutup pintu bimbel. Datang ketika bimbel baru dibuka dan pulang saat bimbel hendak tutup. Satu hal yang kami yakini bersama, usaha tak akan pernah mengkhianati. Man jadda wa jada.
Confucius mengatakan strategi matang adalah poin penting dalam memenangkan pertarungan. Orang-orang mengatakan siswa jurusan IPA akan unggul dalam bidang matematika dasar di tes tertulis. Tapi saya tahu diri, saya bahkan tak pernah benar-benar paham konsep trigonometri baik differensial maupun integralnya. Dan selalu ada celah jika kita jeli melihatnya. Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia masih bisa dijadikan andalan dalam menghasilkan skor. Maka saya hanya fokus pada dua bidang ini untuk kemampuan dasar. Hingga melakukan suatu langkah ekstrem; mengikuti les privat Bahasa Indonesia. Iya, Bahasa Indonesia. Siapa sangka bahasa yang kita gunakan sehari-hari ternyata menyimpan banyak sekali kaidah yang tak banyak dipahami orang. Sehabis pulang bimbel jam 6 sore, saya melanjutkan les privat dari jam 8 malam hingga pukul 11 malam. Setiap hari, termasuk hari Minggu selama sebulan lebih. Iya, saya mengorbankan semuanya demi satu mimpi. Anggap saja oppurtinity cost yang harus dipenuhi.
Mendekati detik-detik ujian, ada pengumuman pembukaan pendaftaran SIMAK UI. Ujian yang diadakan oleh pihak UI bagi mereka yang masih keras kepala ingin mendobrak pintu masuk UI, termasuk saya. Entahlah, mimpi memakai almamater kuning dengan makara belum juga kehilangan pesonanya di hati saya. Rasa penasaran berpadu dengan impian yang belum kehilangan nyalanya menghasilkan tekad kuat; ini kesempatan terakhir saya mewujudkan mimpi. Maka saya mendaftarkan diri, dengan biaya yang jauh lebih mahal dari tes biasa, tiga ratus ribu untuk dua pilihan dan biaya lima puluh ribu untuk setiap pilihan tambahan. Pilihan saya jelas, komunikasi di tempat pertama, disusul kriminologi, lalu sastra inggris. Sampai sekarang saya tidak mengerti kenapa saya memilih kriminologi dan sastra inggris. Saya hanya punya alasan untuk komunikasi.
Lalu, setelahnya ada lagi pembukaan pendaftaran Ujian Masuk Undip. Lulusan SMA yang belum jelas kuliah dimana ternyata bisa jadi sangat kalap. Saya mendaftar lagi, demi mimpi kuliah jurusan Komunikasi di Jawa. Beberapa orang mencibir, berkata saya serakah dengan mendaftar di semua tes. Mereka lupa kalau saya bahkan belum diterima di mana-mana. Sebagian berkomentar tentang banyaknya uang yang harus dibayar untuk semua pendaftaran itu. Hei, ayah saya saja sebagai penyokong utama finansial saya tidak pernah mempersoalkan hal itu. Butuh kepala yang sangat keras agar tidak bisa ditembus oleh kata-kata tajam semacam itu. Dan atas nama mimpi, I have to go on. 
Selasa, 18 Juni 2013. Hari pertama ujian SBMPTN. Saya mendapat lokasi di FKG USU. Ujiannya TPA dan Kemampuan Dasar. Kalau boleh jujur, soal yang diujiankan jauh beda dengan soal yang biasa diujikan di try out bimbel. But the show must go on. Kerjakan semampu sajalah. Guru english saya semasa SMA pernah berkata, usaha maksimalmu hanya bisa dilakukan sampai sehari sebelum ujian. Pada saat hari H, hanya Tuhanlah yang bisa benar-benar membantu. Dan benar, just face it. Sesusah apapun, yakinlah usaha tidak akan mengkhianati. Hari pertama saya hopeless sehopeless hopelessnya hopeless. Butuh dua batang eskrim stroberi sampai akhirnya saya bisa menjawab pertanyaan sepupu saya tentang bagaimana ujian hari itu. Itupun menjawabnya sambil menangis. Entahlah, ancaman kuota tinggal 30 persen dan harus bersaing dengan alumni benar-benar mimpi buruk.
Hari kedua. Saya harus ujian dari pagi hingga siang karena ikut program IPC. Satu hal yang ternyata useless. Pada saat ujian kemampuan IPA, saya hanya menatap kertas, ingin segera keluar dari ruangan kalau saja tak dibilang melanggar norma kesopanan. Dan dari 60 soal, saya hanya menyelesaikan sekitar 25 soal yang belum tentu benar juga. Dua tahun belajar IPA dan beginilah hasilnya. Dalam hati saya tertawa miris.
Sesi kedua, kemampuan IPS. Pada sesi ini baru saya menganggap benar-benar penting. Dari 60 soal, saya menyelesaikan sekitar 50 soal, meskipun belum tentu benar juga. Tapi yah, at least I tried. Lalu ujian dinyatakan selesai. Satu hal yang tidak pernah saya lakukan adalah mengecek jawaban saya dengan kunci yang banyak beredar. Prinsip saya; let’s bygone, be bygone. Mengetahui hasil ujian sebelum hasil resmi keluar itu semacam membuat down diri sendiri. Toh kalau kamu tahu jawabanmu salah, bukan berarti kamu bisa mendatangi pengawas untuk menggantinya, kan?
Satu usaha telah dilakukan, tapi satu saja tidak cukup. 30 Juni 2013, ujian SIMAK UI di SMKN 8 Medan. Ujiannya hanya satu hari. Kali ini saya pure IPS jadi masuknya siang. Dan masih tetap tahu diri di kemampuan dasar. FYI, saya hanya mampu menyelesaikan SATU soal matematika dasar dari dua puluh soal yang diberikan. Cukup membuat down mengetahui teman-teman saya rata-rata menjawab lima atau tujuh soal. SATU PER DUA PULUH SOAL. Iya, saya tahu saya hanya bisa banyak-banyak berdoa kali ini. Dengan doa, saya menyelesaikan sesi kedua, kemampuan IPS 60 soal dengan waktu 60 menit. 1 soal 1 menit, dan itu mustahil. Membaca wacana IPS Terpadunya saja sudah memakan waktu lebih dari 5 menit dan ada dua teks semacam itu. Saya tidak sempat menghitung berapa soal yang bisa saya kerjakan. Yang jelas, selesai tes, saya menyempatkan diri untuk berdoa mengingat 1 soal di madas tadi. 
Lalu sampailah pada tanggal 6 Juli 2013. Ujian Masuk Undip di SMAN 1 Medan. Kali ini juga pure IPS. Saya duduk di deretan paling depan. Satu hal yang sedikit membuat miris. Pengawas ujian sampai segitunya memandangi SKHUN saya pada saat pengecekan identitas. Mungkin dia berpikir, “anak ini mau apa lagi ikut ujian yang pure IPS dengan nilai IPA seperti ini?” Ah, Bapak tidak tahu isi hati saya. Hahahaha. Ujian kali ini setara dengan soal UN. Itu kenyataan. Saya yang bego matematika pun bisa mengerjakan 13 dari 20 soal. Serius. Enggak tahu deh benar atau tidak. Hahahaha.
Itu ujian terakhir saya memperjuangkan mimpi kuliah di Jawa jurusan Komunikasi. Sebenarnya saya ingin ikut Ujian Masuk UGM juga, tapi lokasi ujian hanya ada di Pekanbaru and my mom thought it was too far for me. Lagian waktunya hanya selang satu hari dengan UM Undip. Yah, saya mengakhiri touring saya dari satu SMA ke SMA lain perkara ujian. Iya, dalam rentang satu bulan, saya harus ikut empat ujian yang berbeda, termasuk psikotes STIS yang gagal itu hahaha. Dalam satu bulan, empat kali pula bolak-balik Siantar-Medan. Buat adik-adik kelas tiga SMA, kalian juga bakal kayak gitu ntar, kalau nasibnya kayak saya hihihi..
Dua hari setelah ujian Undip, tanggal 8 Juli, pengumuman SBMPTN. Pengumumannya pukul empat sore. Dan yah, saya masih begitu keras kepala dan mendaftar juga ke Unpad untuk D3 dengan jalur seleksi rapor. Sialnya, saya tidak tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir pendaftaran. Jadi di tengah-tengah proses input nilai, muncul pemberitahuan masa pendaftaran sudah ditutup. Such a stupid thing I did, huh? Berasa bego banget dan udah ngebuang seratus ribu uang pendaftaran dengan percuma. Dengan kekesalan yang memuncak, saya pulang ke rumah, dari warnet. Sudah pukul empat waktu itu dan saya  tidak berani melihat pengumuman. Niatnya sih melihatnya malam, kalau perlu tengah malam supaya tidak ada yang nanya-nanya hasilnya. 
Di twitter sudah rame saat itu, ada yang alhamdulillah, ada juga yang emoticon sedih. Saya makin jiper. Ternyata handphone saya berdering, dari nomor tak dikenal. Suara perempuan di seberang sana terdengar sumringah. Dia memperkenalkan diri sebagai staff dari bimbel dan mengabarkan saya lulus SBMPTN. Saya terdiam dan bertanya, menang dimana? Dia gantian heran, masa belum melihat pengumuman sepenting ini. Akhirnya dia memberi tahu saya lulus di pilihan pertama Komunikasi Unpad. I still remember that feeling. Merinding. Lalu nangis. It’s like, akhirnya gue kuliaaaah jugaaaaaaaaaaaaaaaa. Yay! Langsung heboh nelponin mama sama ayah yang tinggal nun jauh di luar kota. Reaksi mereka sama, mom nangis dan berkata, akhirnya kamu kuliah juga. What the…
Intinya saya akan kuliah di jurusan Komunikasi dan di Pulau Jawa. How can it be better? Udah ngerasa cukup banget dan melupakan semua hasil tes lainnya. Saya mempersiapkan berkas untuk ke Unpad, SEMUANYA. Bahkan saya sudah menghubungi teman yang tinggal di Bandung agar menyediakan akomodasi selama saya disana hihi. Dia bahkan sudah memberi nomor papanya agar bisa minta jemput saat di bandara. Intinya; saya sudah amat siap berangkat ke Bandung.
Tapi celetukan ayah saya saat saya meminta dipesankan tiket pesawat ke Bandung mengubah segalanya. Kapan pengumuman di UI? Jleb. Euforia saya tentang Bandung terhenti sejenak. Saya masih punya harapan ke UI. Namun, terlalu tamak rasanya jika masih menginginkan UI setelah tes UM Undip saya pun dinyatakan lulus di Komunikasi. Lulus di dua tempat dan harus memilih sudah merupakan kebanggaaan bagi saya. Namun ayah saya berkeras, kita harus tetap tunggu hasil dari UI. FYI, ayah saya tidak tahu cerita satu soal per dua puluh di madas makanya ia bisa sedemikian optimisnya. 
Karena beliau penyandang finansial untuk tiket pesawat dan biaya kuliah, maka saya hanya bisa menuruti saja. Kita sama-sama menunggu tanggal 19 Juli walaupun saya bahkan sudah meminta agar dicarikan kost di Bandung. Seniat itu. 
Tanggal 19 pagi. Pengumuman keluar jam 8 pagi. Jam 8 lebih lima menit. Ada teman yang bertanya bagaimana hasilnya. Baru saya buka situs UI. Input nomor ujian yang menurut saya bagus banget 2024200244. Nomor cantik, kan? Hahahaha. Situsnya terbuka dan voila! Selamat, Anda diterima sebagai calon mahasiswa baru Universitas Indonesia. Anda resmi menjadi blablabla…. dan di bawahnya tertulis Program Studi Ilmu Komunikasi S1 Reguler. 
Saya terdiam. Benar-benar terdiam. Merasa itu adalah mimpi. Namun dering sms yang banyak masuk menanyakan hasilnya menyadarkan saya itu bukan mimpi. Oke. Oke, saya diterima di UI. Jurusan Komunikasi. Saya akan memakai jaket kuning dengan emblem makara. For several seconds, it all feels like completely a dream. Tapi saya harus bangun, saya harus mengonfirmasi pendaftaran hari itu juga dan mengurus berkas-berkas yang amat sangat banyak dalam waktu dua hari. (Ntar saya ceritain ribetnya ngurus berkas pengajuan biaya operasional hahaha)
Saya mengabari mom and dad. Dan perkataan mom benar-benar ngejleb; gak sia-sia kamu penuhin satu rumah itu dengan lambang UI, ya. Itu hari Jumat, lalu Minggu pagi saya mengejar penerbangan pertama pukul lima pagi karena ada berkas yang harus sampai hari Seninnya. FYI, hari Minggu jam 8 pagi seharusnya saya ikut tes STAN. Tapi dari awal saya ingin ke UI. Saya ingin kuliah di Komunikasi. Dan sekali lagi; kalau punya mimpi harus keras kepala.
Yah, so here I am. Being a maba at University of Indonesia. Cerita ini mungkin gak penting, tapi saya merasa perlu menulisnya sebelum saya lupa bagaimana rasanya mendengar pengumuman-pengumuman itu hahahaha. Tetap semangaaaat!!!