20131029

Antara A dengan S: Penjurusan atau Penjerumusan?

A dan S hanyalah sebuah goresan garis hitam berbentuk segitiga dan lengkungan. Sebatas simbol yang tak bermakna. Lalu manusia memberinya makna dengan mengkategorikannya sebagai alfabet pertama dan kesembilan belas. Melafalkannya sebagai "a" dan "es". Awalnya sesederhana itu.

Namun kedua simbol ini mengalami kompleksitas ketika disandingkan dengan dua huruf di depannya. I dan P. Sang A menjadi IPA dan si S menjadi IPS. Maka berbagai meaning bermunculan di benak kita. Dan stereotype berhamburan keluar. IPA dan IPS menjadi dikotomi-dua hal yang bertentangan sifatnya.

Di Republik ini, IPA dan IPS menjadi dua genre pembelajaran bagi siswa SMA. IPA mewakili ilmu eksakta dengan ciri khas ujiannya didominasi angka-angka. Sementara IPS merepresentasikan rumpun sosial dengan ciri khas ujian didominasi huruf dalam wacana. Entah apa yang mendasari pembagian genre belajar seperti ini. Mungkin pemikiran pemerintah bahwa penjurusan minat akan memudahkan siswa untuk mempelajari subjek yang lebih spesifik (dengan kata lain lebih sedikit beban kurikulum). Tapi yang jelas, saya menentang-dengan dua alasan utama.

Pertama, penjurusan siswa SMA dalam kedua jurusan tersebut seringkali tidak didasari oleh minat mereka yang sebenarnya. Penjurusan dilakukan oleh pihak sekolah dengan cara melihat nilai rapor saja. Umumnya, standar penjurusan di sekolah-sekolah seperti ini; jika nilai rapor kelas sepuluh dianggap baik, maka siswa "berhak" menentukan pilihan ingin ke IPA atau IPS. Namun, jika nilainya tidak terlalu baik, siswa terpaksa masuk ke kelas IPS. Disini stereotype sudah dibentuk; jurusan IPA berisi anak-anak superior dengan nilai lebih tinggi dari jurusan IPS. Superior dalam artian lebih pintar, lebih rajin, dan kelak lapangan pekerjaannya akan lebih "luas". Stereotype semacam ini menciutkan nyali siswa-siswa pintar yang sebenarnya memiliki minat di rumpun sosial, tetapi takut pada labelling yang sudah terlanjur mengakar di benak masyarakat.

Kedua, penjurusan menjadi dua genre semacam ini tidak ada gunanya. Untuk apa membagi siswa menjadi dua kubu jika akhirnya pemerintah membuka Jalur Campuran saat penerimaan mahasiswa baru yang membolehkan dua kubu mengambil jalan tengah? Apakah ini semacam bentuk kebaikan hati pemerintah yang bertujuan "menyelamatkan" siswa yang terlanjur terjerumus dalam jurusan yang keliru-tidak sesuai minatnya? 

Langkah "penyelamatan" dengan membuka jalur campuran bukan solusi. Tidak gampang menyeberang pulau dari A ke S atau sebaliknya. Setelah dilakukan pun, jalur campuran mendatangkan konflik baru karena ramainya siswa jurusan IPA yang hinggap di fakultas bercorak rumpun sosial. Tuduhan "merebut lahan" menjadi santer terdengar, seolah pendidikan adalah tanah kaplingan yang terkotak-kotak dalam ekslusivitas.


Wahai Bapak yang duduk di gedung sana,

Mengapa tak melakukan tindakan preventif dengan menetapkan kewajiban untuk melakukan tes mendalam sebelum penjurusan siswa SMA agar hasilnya lebih komprehensif dan holistik? Terkendala biaya? Lalu, mengapa tak hapuskan saja penjurusan?


Siswa SMA bukan korban, jangan sampai penjurusan malah menjadi penjerumusan. 


20131022

December

Let's try to remember these days back in December. Our lives were very different, I was lonely when we first met.

A small upstairs apartment. Driving through the darkness to get back on before they knew you were even gone.

You don't have to speak because I can hear your heartbeat, fluttering like butterflies searching for a drink.

You don't have to cover up how you feel when you're in love. I always know I'm not enough to even make you think.


Please, slow down, Babe. We're moving way too fast for their world. We gotta make this last. I know it hurts to feel so all alone. I'm by myself more than you could know. If only they were all alone.


I miss you so much, a self-inflicted comma. The days drag on like marathons, running with bare feet.


And when I feel the stress, I'm lonely and depressed, I picture you in the dress you wore four weeks ago..


-Original lyrics: December by Hawthorne Heights- 

Missing so many people in the same time without knowing if they are missing you in return and no chance to meet up are such a very BIG deal :)


20131018

Esai Kompetisi Prestasi Maba UI 2013

Peran Pemuda dalam Memerangi Disintegrasi Laten Penggunaan Bahasa Indonesia di Sosial Media
Dara Adinda Kesuma Nasution
Ilmu Komunikasi
1306460154

            Mendengar kata disintegrasi bangsa, dapat dipastikan dalam benak kita langsung terbayang peristiwa-peristiwa perpecahan besar, seperti kasus lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia ataupun gerakan separatisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Namun, kata disintegrasi tidak melulu soal lepasnya wilayah fisik republik ini. Kata disintegrasi yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan. Perpecahan dapat terjadi dalam sebuah hal sepele yang sering kita abaikan, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
            Kenyataan bahwa bahasa merupakan salah satu simbol pemersatu bangsa tidak dapat dibantah lagi terkait eksistensinya dalam butir ketiga Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia begitu penting hingga disandingkan dengan status tanah air dan kebangsaan Indonesia. Posisi vital bahasa Indonesia diperkuat lagi dengan adanya pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
            Indonesia jelas membutuhkan pemersatu karena sifatnya yang multikultural menghadirkan banyak sekali bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Perbedaan bahasa ini menjadi noise (gangguan) yang menghambat proses komunikasi. Suwardi (1996) menyebutkan hancurnya sistem komunikasi bisa menghancurkan harapan orang untuk berintegrasi. Dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca telah menyatukan rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Bahasa Kita Tidak Lagi Satu
            Ironisnya, bahasa Indonesia sekarang ini hanya dianggap sebagai simbol komunikasi tanpa melihat esensinya sebagai alat pemersatu bangsa. Penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini seringkali tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Penyimpangan ini tentu dapat mencederai integrasi bangsa Indonesia. Ibarat sebuah pita pada pembungkus kado, bahasa Indonesia semestinya tidak hanya dipandang sebagai pemanis belaka, tetapi ia memiliki fungsi lebih yaitu sebagai pengikat yang mempersatukan rakyat Indonesia dari berbagai kalangan.
            Contoh penyimpangan yang paling mudah dilihat sekarang ini adalah penggunaan bahasa Indonesia di sosial media, misalnya Twitter. Jarang sekali kita menemukan sebuah akun Twitter yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan baku. Kalaupun ditemukan akun-akun berbahasa baku, biasanya merupakan akun milik sebuah institusi resmi atau pejabat pemerintahan yang sengaja menunjukkan citra diri yang baik. Namun dalam level masyarakat awam, kaidah kebahasaan dianggap sebagai angin lalu saja.

            Tweet salah seorang pengguna Twitter yang menunjukkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang tidak baku. Diakses dari www.twitter.com pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 17.30 WIB.

            Screencapture di atas merupakan salah satu contoh dari penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah. Kata “laki-laki” hanya disebutkan sebagai ”laki”saja dan penulisan partikel “lah” yang terpisah dari kata sebelumnya. Penyingkatan-penyingkatan yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi penyampaian pesan di Twitter yang dibatasi hanya sebanyak 140 karakter tanpa disadari dapat menghilangkan kesadaran kita untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
            Belum selesai dengan permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah, ada satu masalah mengenai kebahasaan yang muncul di Twitter, yaitu munculnya kosakata-kosakata baru yang tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kosakata seperti cius, miapah, enelan, dan berbagai kosakata lain menjadi lumrah digunakan dalam interaksi sosial media. Awalnya mungkin hanya dimaksudkan sebagai lelucon, tetapi dengan adanya fitur Retweet dan Trending Topic yang membuat sebuah informasi di Twitter merebak cepat dapat mempengaruhi cara kita berkomunikasi. Bahkan, lama-kelamaan dapat menggeser kosakata-kosakata asli yang tercantum dalam KBBI.


            Tweet dari akun resmi grup band Owl City yang menggunakan bahasa Alay, yaitu penulisan dengan huruf dan angka sekaligus. Diakses dari http://i47.tinypic.com/fdzypt.jpg pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 18.37 WIB.

            Dalam screencapture di atas, bahkan personel sebuah band internasional, Owl City, ikut-ikutan menulis dengan bahasa Alay, sebuah bahasa yang jauh dari tatanan kaidah bahasa Indonesia baku. Maka dapat dibayangkan, pesan tersebut akan menyebar ke  800.235 followers-nya dan menjadi Trending Topic sehingga dianggap menjadi sebuah tren baru dan semakin melemahkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baku.

Langkah Kita sebagai Pemuda
            Hasil survei yang dilakukan Yahoo! pada Desember 2008, pengguna internet terbanyak didominasi oleh remaja 15-19 tahun, yaitu sebesar 64 persen.Lebih lanjut dalam survei yang sama dijelaskan bahwa 58 persen waktu penggunaan internet dihabiskan untuk social networking. Dan jumlah pengguna Twitter di Indonesia meraih peringkat kelima di dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 29 juta orang (Brand24, 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas sosial media didominasi oleh pemuda dan pelaku penyimpangan berbahasa Indonesia di media sosial juga merupakan pemuda itu sendiri.
            Sebagai pihak yang dominan mencederai bahasa sendiri, para pemuda harus melakukan resolusi sebelum muncul masalah-masalah baru di bidang ini. Menggugah nasionalisme melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan pemuda sekarang ini bisa jadi dipandang sebagai langkah normatif belaka yang tersendat di level implementasi. Namun, tentu saja masih ada beberapa langkah sederhana tapi nyata yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki keadaan ini.
            Pertama, dalam aktivitas sosial media hendaknya kita berbahasa sesuai dengan status. Jika berstatus sebagai mahasiswa, gunakan diksi-diksi yang merefleksikan tingkat intelektualitas sebagai mahasiswa. Bukan bermaksud memamerkan kemampuan berbahasa, tetapi memang inilah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keadaan.Lebih dari dua belas tahun waktu yang dihabiskan di bangku sekolah untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat disayangkan jika berakhir sebagai formalitas belaka tanpa implementasi nyata. Jika semua pemuda, khususnya mahasiswa memiliki pola pikir seperti ini maka perlahan tapi pasti masalah penyimpangan bahasa Indonesia dapat dikikis habis.
            Yang kedua, pentingnya literasi media dan teknologi di kalangan pemuda. Istilah literasi media dan teknologi dapat disederhanakan menjadi melek media dan teknologi. Artinya, sebagai pemuda kita tidak hanya mengakses semua informasi yang tersebar di sosial media, melainkan dapat menganalisis dan mengevaluasi pesan yang terdapat disana. Langkah ini menjadi penting agar pemuda tidak begitu saja menerima penyebaran bahasa yang tidak sesuai kaidah kebahasaan. Dengan demikian, bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku akan kehilangan pengguna sedikit demi sedikit dan dapat diminimalisasi penggunaannya.
            Ketiga, para pemuda dapat melakukan kampanye mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di sosial media dengan menggunakan hashtag yang unik sehingga menarik minat pemuda lainnya. Di ranah Twitter juga sudah muncul akun-akun yang mengulas tentang bahasa Indonesia yang baik, misalnya @Bahasa_Kita yang membahas kosakata, tata bahasa, dan penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, selama ini belum muncul gerakan dari pemuda itu sendiri secara kolektif. Kampanye ini dapat dilakukan mengingat sebuah teori komunikasi massa dari Schramm dalam Severin dan Tankard (1971) yang disebut dengan Teori Peluru. Teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Apabila pesan “tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan. Maka dapat dibayangkan jika kampanye mengenai kebahasaan dilakukan secara berkesinambungan, efeknya akan sangat besar dan dapat mengembalikan penggunaan bahasa yang sesuai kaidah.
            Langkah-langkah sederhana di atas diharapkan dapat membantu menyelamatkan nasionalisme dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya di tataran sosial media yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pemuda.



Daftar Referensi
Severin, Werner J. & Tankard, James W., Jr. (2011). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Suwardi, Harsono. (Januari 1996). Integrasi Bangsa dalam Perspektif Komunikasi. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritikal Tentang Integrasi Bangsa, Depok.



PS. : Seharusnya ada 3 nama penulisnya disini, it's not pure my idea. Thanks a lot Kak Dinda Larasati and you :))



20131015

Channing Tatum Bukan Kamu.

Saya suka Channing Tatum. Sang aktor tampan dengan sosok atletis berperut kotak-kotak. Aktingnya mumpuni, mulai dari memerankan penari profesional dalam Step Up, lalu menjadi polisi kocak di 21 Jumpstreet, hingga menjelma menjadi pria paling romantis dalam The Vow. Saking sukanya, saya punya satu kalimat "sakti" yang jadi self suggestion whenever I wanna chase something yang bunyinya, "Just run, like Channing Tatum is waiting for you at the finish line." Segitunya.

Tapi,
Channing Tatum bukan kamu.

Ia mungkin piawai mengemudi dalam 21 Jumpstreet tapi dia belum tentu sanggup menembus kemacetan antara kotamu dan kotaku di pagi buta. Just like you did.

Ia juga cekatan mengejar penjahat dalam film yang sama tapi dia bukan kamu yang berjalan tergesa masih dengan jas dan sepatu laboratorium demi menemuiku di stasiun kereta di hari aku ditinggal sendirian ke luar negeri.

Dia bukan kamu yang berjalan satu jam keliling dua mall demi es krim.

Dia bukan kamu yang menghadapi antrean superpanjang hanya untuk tiket film.

Dia bukan kamu yang menelepon pukul tiga pagi sebagai balasan dari pesan nightmare dan homesick yang kukirimkan.

Dia bukan kamu yang membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah kudatangi. Mengajakku melawan gravitasi, terbang menguji gaya setripetal, dan memacu adrenalin dari ketinggian 56 meter.


Channing Tatum bukan kamu.


Dan saya jatuh cinta pada kamu.



               
























20131011

How I fell in love with Schramm

Schramm bukan cowok paling ganteng se-FISIP. Schramm juga bukan anak teknik yang oleh teman saya diyakini sebagai diamond in the mud-berlian di dalam lumpur-yang konon katanya selepas masa kuliah, cowok tekniklah yang paling bersinar masa depannya. 

Oke, ini salah fokus.

Schramm, lengkapnya Wilbur Schramm. Penemu salah satu model komunikasi yang menurut saya, just amazing. Beliau menggambarkan model temuannya itu dalam gambar seperti di bawah ini:



Source, encoder, signal, decoder, destination adalah elemen yang udah umum banget dalam komunikasi. Bahkan mulai dari Aristoteles pun punya konsep source dan destination-meski dulu masih sangat sederhana. Lalu Shannon-Weaver juga menggunakan istilah information source dan destination meski dia lebih menekankan pada penggunaan transmitter dan channel, sesuai dengan latar belakang mereka yang teknik banget, eyang Shannon dulunya teknisi telekomunikasi di Bell Telephone Laboratories.


So what does make Schramm different?

Field of Experience. 


Field of experience ini semacam commonness-kesamaan-yang dimiliki oleh dua pihak yang berkomunikasi. 
Semakin lebar irisan field of experience yang dimiliki oleh kedua belah pihak, signal akan lebih mudah disampaikan dan diinterpretasikan sesuai dengan keinginan source. 

Contoh gampangnya, ada orang asing, katakanlah bule Perancis yang ngomong, "merci beaucoup" kepada orang Indonesia yang gak pernah belajar bahasa Perancis. Source-si bule ini- berhasil meng-encode pesan jadi signal. Dan destinationnya-orang Indonesia berusaha men-decode pesan tadi supaya punya makna di dalam otaknya. Tapi karena gak ada commonness di antara mereka berdua tentang "merci beaucoup", orang Indonesia gak punya pengalaman tentang kalimat itu sebelumnya, there's no same field experience, maka signal tidak akan bisa tersampaikan dengan baik. Kalo signal gak tersampaikan dengan baik, jangan harap efek yang diharapkan bakal muncul.


And that's how a relationship works, too.


Inti dari semua persoalan cinta bertepuk sebelah tangan, friendzone, munculnya istilah PHP, a break up, even a serious case like a divorce adalah commonness yang gak ada-atau udah luntur. Iya. Percaya nggak?

Kenapa sampai muncul istilah PHP? Ya karena satu pihak udah mati-matian ngasih kode, tapi pihak yang satunya lagi mengartikannya beda karena field of experiencenya gak sama-yang satu nganggepnya serius banget, satunya cuma nganggep biasa aja. No commonness. 



So the point of making a relationship works is to expand the commonness in both field of experiences. 


Dan itu gak gampang :p

20131006

The Fourth.

Untuk yang lahir pada hari pada tanggal empat belas.

Sudah empat kali bulan berotasi mengelilingi bumi sejak hari itu. Hari Rabu yang sedatar biasanya, dengan setumpuk buku rumus dan kumpulan soal IPC. Dengan sederet jadwal kelas intensif dan janji diskusi dengan tentor. Masih dengan setitik noktah harapan tentang satu bangku di Perguruan Tinggi.

Lalu kita berjanji untuk makan siang bersama hari itu. Seperti belasan makan siang lainnya yang sudah kita lewati. Sebagai teman. Atau sedikit berbaik hati menyebutnya teman dekat.

Di tempat yang sama, menu yang sama. Kau dengan segelas es jeruk dan aku dengan segelas lemon tea. Tak ada pembicaraan khusus apapun kecuali ledekanmu tentang perempuan yang tak pernah diberi boneka selama 17 tahun hidupnya. Perempuan yang lebih sering diberi buku sebagai hadiah ulang tahunnya. Dan perempuan itu aku.

Kemudian kita pulang. Kau mengantarku pulang, tepatnya. Tapi kau memutuskan singgah untuk mengambil foto-foto kita saat liburan lalu. Dan foto-foto saat perpisahan SMA, kau dengan jas abu-abu dan aku dalam balutan gaun ungu.

Ini kunjunganmu yang entah keberapa puluh kalinya ke rumahku. Dari sekedar membagi cerita tentang jengahnya kita pada sistem penerimaan mahasiswa baru tahun ini sambil ditemani sebatang es krim stroberi hingga belajar teori gas ideal dan dua postulat Einsten. Lagi-lagi, sebagai teman.

Namun hari itu ada yang berbeda. Boneka lumba-lumba ungu di kamarku persis seperti yang kuceritakan berbulan yang lalu. Entah bagaimana kau masih ingat. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, perempuan itu diberi boneka. Boneka yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya sendiri.

Dan boneka itu tidak sendirian. Ada tulisan penyemangat disana. Iya, kau satu-satunya yang mengulurkan tangan ketika semua mulut sibuk bertanya kenapa aku gagal. Dan di balik tulisan penyemangat itu, satu kalimat tanya mengubah semuanya. Kau ingin memberi nama pada apa yang kita jalani setengah tahun ini.

Aku terdiam. Sistem limbic dalam otakku mencoba tenang agar bisa memberikan jawaban yang tepat dari Neocortex, bukannya jawaban gegabah dari R-Complex yang nantinya akan kusesali. Kita sama-sama paham, ini sama sekali bukan hanya tentang kira berdua. Kita sama-sama mendengar semua rumor yang beredar.


Tapi kau telah berdiri di bibir pintu dengan setangkai mawar. Lalu semuanya jelas. You decided to take the highest risk FOR US. Apalagi yang bisa kuberikan selain anggukan kepala? Dan 5 Juni 2013, I officially became your Vice Captain in our cockpit.

Selamat tanggal 5 yang keempat, Kapten. Beyond all the fights, the worst nights, our ups and downs, the hesitations; I love you, much.

20131003

They called it "culture shock".

"Loe pas pertama nyampe sini ngalamin culture shock gak?"


Pertanyaan sederhana dari seorang teman di pelataran masjid kampus sore itu. Saya terdiam sejenak, mengingat-ingat hari pertama saya berada di kampus ini. Dan ingatan saya berlari menuju hari dimana saya harus mendaftar ulang. Pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat sejuta umatnya kampus ini-Balairung.

24 Juli 2013, hari Rabu. Saya diminta datang ke kampus pada pukul 11.00 untuk mengonfirmasi kelulusan saya sebagai mahasiswa baru di kampus ini. Sendirian, literally. Teman-teman dari sekolah saya tidak ada yang diterima melalui jalur dan program yang sama dengan saya dan ayah saya yang ikut mengantar harus kembali sehari sebelum pendaftaran ulang karena telepon genggamnya tak bisa bungkam, penuh dengan panggilan mengenai pekerjaan setiap pagi selama ia disini.

Jadilah saya, mengenakan kemeja putih sesuai dresscode untuk maba, berangkat dari kost diantar tukang ojek, celingukan sambil memegang map biru berisi seluruh berkas yang diperlukan. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara dan hanya mengikuti alur pendaftaran melalui petunjuk arah yang disediakan petugas. Waktu itu bulan puasa dan yah, antreannya cukup panjang. Butuh kesabaran ekstra demi selembar kartu tanda mahasiswa.

Dalam antrean, beberapa mahasiswa baru sudah saling berinteraksi. Topik mainstreamnya adalah; kebanggaan mereka atas keberhasilan "mendobrak" pintu masuk universitas ini melalui jalur mandiri reguler dengan subtopik; apa saja pilihan jurusan yang diambil pada saat tes. Saya menyimak obrolan mereka dan telinga saya menangkap sesuatu yang asing.

"Loe pas SIMAK kemarin ambil apa aja? Kalo gue, sih emang pengen banget jurusan ini. Oh iya, ntar siang kelar jam berapa sih? Pasti gerah banget ni Depok, demi apa gue harus bawa motor sendiri."


Saya heran.
Kata ganti yang mereka gunakan untuk menyebut lawan bicara berbeda dengan apa yang saya gunakan selama 17 tahun berada di dunia. Cara mereka berbicara berbeda dengan cara saya berbicara dengan keluarga dan teman-teman saya. Pilihan kata mereka jatuh pada diksi yang selama ini hanya saya dengar di film dan sinetron khas ibukota. 


Semuanya berbeda.
Tiba-tiba saya merasa menjadi alien yang terdampar di kumpulan manusia. Saya mengurungkan niat mencari teman hari itu. Memperkenalkan diri berarti harus mengeluarkan suara, melafalkan kata, dan merangkai kalimat. Dan saya takut logat khas Medan saya yang berbeda lalu dianggap aneh. Bukan berarti saya tidak bangga dengan asal saya. Namun, pada hari itu, saya takut penolakan. Maka sepanjang hari itu saya hanya diam, tak bersuara kecuali saat menjawab pertanyaan petugas tentang ukuran jas almamater.

Pada hari itu saya tak tahu bahwa ada nama untuk kejadian yang saya alami. Ada penjelasan kenapa saya merasa seperti alien pada hari itu hanya karena perbedaan bahasa. They called it culture shock.


Culture shock revers to the whole set of feelings about being in an alien setting, and the ensuing reactions. It's a chilly, creepy feeling of alienation, of being without some of the most ordinary, trivial (and therefore basic) cues of one's culture of origin.

                                         -Conrad Phillip Kottak in Cultural Anthropology-

"Ya, awalnya."
 Saya menjawab pertanyaan teman saya itu. Dia mengangguk dan sepertinya paham bahwa itu wajar untuk pendatang seperti saya. Lalu ia bilang,


"You have to make more efforts in adaptations. It takes time, but it's worth it to survive."