20150713

(Katanya) Kalau Pakaianmu Sopan, Kamu Tidak Akan Diganggu

Nenek saya dulu gemar bercerita. Katanya, di bulan puasa seperti ini, semua setan diikat di neraka. Tak satupun yang bisa berkeliaran di bumi. Kenapa begitu, Nek? tanya saya yang waktu itu masih TK. Supaya manusia bisa khusyuk beribadah dan tidak berbuat jahat, jawabnya. 


Lalu saya-yang saat itu memang tergolong ceriwis-bertanya lagi, kapan mereka dibebaskan? Di malam takbiran, kata Nenek. Itulah sebabnya di hari Lebaran kamu makan kue banyak sekali sampai sakit perut, setan sudah masuk ke perutmu, kata Nenek sambil tertawa. Saya cemberut.

Bertahun-tahun kemudian-bahkan setelah Nenek tiada-saya masih percaya pada kisah itu. Saya bahkan menahan keinginan untuk menghabiskan kue Lebaran di rumah Tante saya karena takut setanlah yang akan menikmati kue-kue lezat itu sambil bersantai di lambung saya.



Sembilan belas tahun bernapas dan saya percaya dunia adalah tempat yang paling aman ketika bulan puasa.  Lalu, keyakinan saya yang dogmatis itu runtuh ketika saya tinggal sendirian.

Begini ceritanya.


Di minggu kedua bulan puasa tahun ini, saya terpaksa harus pergi ke kantor polisi. Bukan karena terlibat kriminalitas, tapi saya harus mengurus surat kehilangan untuk kartu ATM saya. Selesai dari sana, saya memutuskan pulang naik KRL meskipun hanya satu stasiun karena saya kebetulan sedang tak punya uang kecil untuk membayar angkot. 


Ketika saya berjalan melewati ITC Depok menuju stasiun Depok Baru, sekelompok laki-laki tiba-tiba melakukan catcalling. (To catcall: to make a whistle, shout, or comment of a sexual nature to a woman passing by).


"Mau kemana, Neng?" teriak seorang dari mereka.

"Sini, Abang anterin pulang," kata temannya yang lain-padahal jelas dia bukan tukang ojek. 
Yang lain bahkan melontarkan catcall yang lebih melecehkan dengan berteriak, "Pssst, pssst, Neng manis amat sih!"

Saya hanya tertunduk. Berjalan cepat-cepat. Dan takut.


Padahal hari itu saya berpakaian amat sangat layak; celana jeans, baju hampir selutut yang menutupi bokong, dan kerudung. But, they kept catcalling me. 


Itu kejadian pertama.


Yang kedua, terjadi dua hari yang lalu. Saat itu, saya hendak membeli makanan sahur di warung dekat kost. Saya keluar dengan memakai pakaian tidur berupa kaus oblong dan celana selutut, tidak berkerudung. Kenapa? Ya, karena saya ingin saja. 


Di perjalanan pulang, tiba-tiba ada segerombolan laki-laki yang duduk di atas motornya. Entah mereka mau SOTR atau apa, saya tak tahu. Dan lagi, di bulan puasa yang suci ini, di tengah-tengah ayat-ayat yang dikumandangkan untuk membangunkan orang sahur, they catcalled me. Again, in my very decent constume. 


"Abis beli makan apa, Cantik?" 

"Mau Abang temenin gak, makannya?" teriak mereka. 

Saya tertunduk. Berjalan cepat-cepat. Takut dan kesal. Sejak hari itu, saya tak percaya bulan puasa adalah bulan paling aman. Sejak hari itu, saya kepingin sekali bilang pada Nenek, "Nek, peraturan Tuhan sudah ganti! Sekarang setan tak lagi dikurung di bulan puasa."



***


Dua kejadian itulah yang membuat saya selalu meragukan pendapat orang-orang radikal yang menganggap perempuan dilecehkan karena pakaian yang kami kenakan tak senonoh. Like, hey, I got my very very very decent costumes and being catcalled anyway. 



Maka menurut saya-yang kerap kali jadi korban catcalling dan sama sekali tidak bangga karenanya-pakaian bukan variabel penentu. It's on their brain, though. 


Lalu, sebagian dari Anda yang merasa jenius akan berkomentar, "Tuh kan, pakai pakaian sopan aja di-catcalling, apalagi lo pakai rok seksi!"


Sekilas, argumen seperti itu terlihat masuk akal. Tapi, berkata seperti itu sama saja dengan berkata, "Tuh kan, pakai Waze aja masih nyasar, apalagi gak pakai Waze!" Sebuah komentar yang kelihatan logis tapi tak solutif. Pernyataan itu tak menyelesaikan persoalan mengapa Waze masih bisa membuat orang nyasar, atau apa kelemahan Waze sebenarnya sampai bisa membuat orang nyasar. 


Dalam kasus saya, komentar "Tuh kan, pakai pakaian sopan aja di-catcalling, apalagi lo pakai rok seksi!" tidak akan menjawab pertanyaan mengapa saya tetap di-catcalling walaupun saya berpakaian sopan. Atau...apa yang salah dengan laki-laki di masyarakat kita sehingga tetap melakukan catcalling terhadap perempuan, terlepas dari seberapa tertutup busana yang kami pakai. 

Komentar "Tuh kan, pakai pakaian sopan aja di-catcalling, apalagi lo pakai rok seksi!" hanyalah bentuk legitimasi bahwa laki-laki adalah makhluk yang hanya disetir nafsu sehingga tak bisa menahan diri ketika melihat perempuan, makanya perempuan harus mati-matian menutupi. Anda, para laki-laki, merasa seperti itukah? 


Jika Anda tidak merasa seperti itu, yuk, jangan pernah lakukan catcalling. It scares us. Semanis apapun ucapan yang kalian teriakkan di jalan kepada perempuan, percayalah, kami tak pernah merasa tersanjung karenanya. Malah, saya selalu merasa ingin menonjok laki-laki yang melakukan catcalling. Namun, ada perasaan takut nantinya kalian akan melakukan hal yang lebih buruk lagi dari sekedar catcalling jika kami melawan. 


Please, throwing a catcall to a girl in the street is not cool at all. You just make us put a "jerk" label on yourself. Mungkin sebagian laki-laki hanya berdalih "iseng doang", tapi bukankah mash banyak kegiatan iseng lain yang bisa dilakukan sekaligus tidak mengobjektifikasi manusia lain?

And after all, why can't you, men, leave us, women, alone in peace and safe? Is it too much to ask for?


Dan untuk perempuan, let's be brave. I promised myself that next time I get catcalled, I'll throw a heavy stone to them...and run away!




13072015
3:01 pm
I have some articles to be done here in Fabelio, but I can't help myself to write this first. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar