20140523

Path dan Dialektika Relasional

Siapa tak kenal Path?

Sebuah jejaring sosial yang sedang digandrungi masyarakat Indonesia karena fitur-fitur yang dimilikinya. Path diklaim sebagai sebuah jaringan sosial yang bersifat lebih personal daripada jejaring sosial sejenis karena seseorang hanya diperbolehkan memiliki maksimal 150 orang teman. Hal ini bukan tak beralasan. Katanya, ada penelitian yang menemukan bahwa manusia hanya bisa memiliki 150 orang terdekat sepanjang hidupnya.

Hadirnya orang-orang terdekat di jejaring yang kita bangun melalui Path membuat momen-momen yang dibagi lebih personal. Bagi saya, merupakan hal yang menyenangkan ketika kita bisa bebas membagikan hal-hal yang terjadi dalam kehidupan kita tanpa memikirkan apa yang akan orang lain katakan. Toh, Path berisi orang-orang yang benar-benar saya kenal. Contoh konkretnya, ada perbedaan caption yang saya tuliskan bersama dengan foto yang saya posting di Path dan Instagram. Path menjanjikan intimasi yang tidak ditemukan di jejaring sosial lain-setidaknya bagi saya. 

 Namun, dengan tingginya tingkat adopsi Path oleh masyarakat Indonesia, akhirnya Path membolehkan penggunanya untuk berteman dengan 500 orang di Path. Ekspansi yang dilakukan oleh Path ini menimbulkan beragam respon dari penggunanya.

Sebagian pengguna menyambut dengan euforia. Tipikal pengguna macam ini akan menerima semua permintaan pertemanan tanpa pilih-pilih. Memperlakukan Path seperti Facebook. Saya masih ingat di awal-awal pemberlakuan jumlah pertemanan baru itu, linimasa Path saya dipenuhi dengan feeds mengenai jalinan perteman baru yang dibangun oleh teman-teman saya. Seorang teman yang kesal dengan fenomena ini bahkan menjuluki hari-hari itu sebagai "Hari Pertemanan Sedunia".

Sementara, di seberang jalan, terdapat orang-orang yang awalnya merasa senang dengan ekspansi ini. Saya merasa gusar setengah mati ketika semua teman saya sudah bisa menerima lebih dari 150 pertemanan, sementara akun saya belum bisa. Dan saya kegirangan ketika tahu akun saya sudah bisa melakukan hal yang sama. Tetapi beberapa hari kemudian, saya mulai jengah dengan hal itu.  

Mendadak, saya merasa Path begitu penuh dengan permintaan pertemanan dari orang-orang asing yang tak saya kenal. Beberapa permintaan pertemanan datang dari orang yang saya kenal, tetapi hanya sekedar mengenal dalam artian menyapa jika bertemu, bukan orang-orang yang saya kenal secara personal. Dan ini menimbulkan dilema tersendiri. Apakah kita akan menerima permintaan pertemanan mereka dengan risiko memakai kembali "topeng pencitraan" seperti di sosial media lain? Jika tak kita terima, predikat "eksklusif" mungkin akan disematkan pada diri kita-jika kata "sombong" terlalu ekstrem untuk digunakan.

Mengapa hal ini bisa terjadi?
Mengapa saya merasa ingin "berteman" dengan semua orang, tetapi di saat yang bersamaan saya hanya menginginkan orang-orang tertentu yang ada dalam jejaring pertemanan saya?

Bukan, jawabannya bukan karena saya labil.

Sebuah teori komunikasi menjelaskan hal ini. Teori itu bernama Dialektika Relasional. Dalam teori ini disebutkan bahwa manusia cenderung berada dalam kontradiksi-kontradiksi yang saling tarik menarik ketika menjalin sebuah hubungan dengan orang lain. Sederhananya, hubungan tidak dipandang sebagai sebuah hal yang saklek; kita hanya ingin dekat dengan seseorang atau menjauhinya. Bukan seperti itu. Teori ini menganggap sebaliknya. Dalam sebuah hubungan, kita cenderung ingin dekat dengan orang lain sekaligus ingin menjauhinya, walaupun tidak dalam waktu yang bersamaan. Tetapi, fenomena itu terjadi terus-menerus dalam hubungan manusia.

Hubungan saya dengan orang lain yang dimediasi oleh Path, juga sejatinya begitu. Di satu sisi saya ingin berbagi momen-momen dengan orang-orang dalam kehidupan saya. Namun, di sisi lain saya mem-filter siapa orang yang boleh melihat semua momen itu dan momen apa saja yang ingin dibagi. Berbicara teoritis, konsep ini disebut dengan openness and protection. Terbuka, tetapi ingin sekaligus ingin melindungi informasi-informasi personal yang kita miliki. 

Lalu, bagaimana menyikapi kontradiksi ini? Sebab hal-hal yang berisi ketidakstabilan akan cenderung mendatangkan stress secara kognitif. Teori ini juga menawarkan berbagai cara sebenarnya. Namun, saya memilih pola selection, yaitu memutuskan di kubu mana saya ingin menempatkan orang-orang yang dimediasi oleh Path ini; openness atau protection.

Dan saya memilih openness.

Saya ingin Path tetap menjadi seperti tujuan awal ia diciptakan; sebuah jejaring sosial yang menjanjikan ekslusivitas dan intimasi. Maka dari itu, saya menghapus pertemanan dengan beberapa orang yang tidak saya kenal secara personal. Saya ingin kembali bebas mem-posting foto selfie saya tanpa bantuan efek Camera 360 di jejaring sosial. Saya ingin kembali menjadi diri saya yang tanpa topeng di jejaring sosial. Dan sejauh ini, bagi saya hanya Path yang mampu menjanjikan hal itu. 

Dalam memandang perkembangan teknologi, terdapat dua mazhab, yaitu determinisme teknologi dan konstruksi sosial teknologi. Kubu pertama mengatakan bahwa kitalah yang diatur oleh teknologi, sementara kubu kedua berpandangan sebaliknya. Dan saya tak ingin dideterminasi oleh teknologi. Oleh Path. Oleh jejaring yang menurut Immanuel Castell telah mengubah banyak aspek dalam kehidupan manusia. Maka dari itu, kita harus bijak menggunakan teknologi, khususnya jejaring sosial yang sangat variatif belakangan ini. Menentukan tujuan dari pemakaian sebuah teknologi bisa menjadi langkah awal untuk tidak menjadi korban dari teknologi. 


23 Mei 2014
16:29 WIB
Maaf, saya menghapus Anda dari jejaring Path saya. 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar