20131018

Esai Kompetisi Prestasi Maba UI 2013

Peran Pemuda dalam Memerangi Disintegrasi Laten Penggunaan Bahasa Indonesia di Sosial Media
Dara Adinda Kesuma Nasution
Ilmu Komunikasi
1306460154

            Mendengar kata disintegrasi bangsa, dapat dipastikan dalam benak kita langsung terbayang peristiwa-peristiwa perpecahan besar, seperti kasus lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia ataupun gerakan separatisme GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Namun, kata disintegrasi tidak melulu soal lepasnya wilayah fisik republik ini. Kata disintegrasi yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan. Perpecahan dapat terjadi dalam sebuah hal sepele yang sering kita abaikan, misalnya dalam penggunaan bahasa Indonesia.
            Kenyataan bahwa bahasa merupakan salah satu simbol pemersatu bangsa tidak dapat dibantah lagi terkait eksistensinya dalam butir ketiga Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia begitu penting hingga disandingkan dengan status tanah air dan kebangsaan Indonesia. Posisi vital bahasa Indonesia diperkuat lagi dengan adanya pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; bahasa negara ialah bahasa Indonesia.
            Indonesia jelas membutuhkan pemersatu karena sifatnya yang multikultural menghadirkan banyak sekali bahasa daerah yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Perbedaan bahasa ini menjadi noise (gangguan) yang menghambat proses komunikasi. Suwardi (1996) menyebutkan hancurnya sistem komunikasi bisa menghancurkan harapan orang untuk berintegrasi. Dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai lingua franca telah menyatukan rakyat Indonesia dari Sabang hingga Merauke.

Bahasa Kita Tidak Lagi Satu
            Ironisnya, bahasa Indonesia sekarang ini hanya dianggap sebagai simbol komunikasi tanpa melihat esensinya sebagai alat pemersatu bangsa. Penggunaan bahasa Indonesia sekarang ini seringkali tidak mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Penyimpangan ini tentu dapat mencederai integrasi bangsa Indonesia. Ibarat sebuah pita pada pembungkus kado, bahasa Indonesia semestinya tidak hanya dipandang sebagai pemanis belaka, tetapi ia memiliki fungsi lebih yaitu sebagai pengikat yang mempersatukan rakyat Indonesia dari berbagai kalangan.
            Contoh penyimpangan yang paling mudah dilihat sekarang ini adalah penggunaan bahasa Indonesia di sosial media, misalnya Twitter. Jarang sekali kita menemukan sebuah akun Twitter yang menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan baku. Kalaupun ditemukan akun-akun berbahasa baku, biasanya merupakan akun milik sebuah institusi resmi atau pejabat pemerintahan yang sengaja menunjukkan citra diri yang baik. Namun dalam level masyarakat awam, kaidah kebahasaan dianggap sebagai angin lalu saja.

            Tweet salah seorang pengguna Twitter yang menunjukkan penggunaan tata bahasa Indonesia yang tidak baku. Diakses dari www.twitter.com pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 17.30 WIB.

            Screencapture di atas merupakan salah satu contoh dari penggunaan bahasa Indonesia yang tidak sesuai kaidah. Kata “laki-laki” hanya disebutkan sebagai ”laki”saja dan penulisan partikel “lah” yang terpisah dari kata sebelumnya. Penyingkatan-penyingkatan yang awalnya dimaksudkan untuk efisiensi penyampaian pesan di Twitter yang dibatasi hanya sebanyak 140 karakter tanpa disadari dapat menghilangkan kesadaran kita untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
            Belum selesai dengan permasalahan penggunaan bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah, ada satu masalah mengenai kebahasaan yang muncul di Twitter, yaitu munculnya kosakata-kosakata baru yang tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kosakata seperti cius, miapah, enelan, dan berbagai kosakata lain menjadi lumrah digunakan dalam interaksi sosial media. Awalnya mungkin hanya dimaksudkan sebagai lelucon, tetapi dengan adanya fitur Retweet dan Trending Topic yang membuat sebuah informasi di Twitter merebak cepat dapat mempengaruhi cara kita berkomunikasi. Bahkan, lama-kelamaan dapat menggeser kosakata-kosakata asli yang tercantum dalam KBBI.


            Tweet dari akun resmi grup band Owl City yang menggunakan bahasa Alay, yaitu penulisan dengan huruf dan angka sekaligus. Diakses dari http://i47.tinypic.com/fdzypt.jpg pada tanggal 6 Oktober 2013 pukul 18.37 WIB.

            Dalam screencapture di atas, bahkan personel sebuah band internasional, Owl City, ikut-ikutan menulis dengan bahasa Alay, sebuah bahasa yang jauh dari tatanan kaidah bahasa Indonesia baku. Maka dapat dibayangkan, pesan tersebut akan menyebar ke  800.235 followers-nya dan menjadi Trending Topic sehingga dianggap menjadi sebuah tren baru dan semakin melemahkan kemampuan berbahasa Indonesia yang baku.

Langkah Kita sebagai Pemuda
            Hasil survei yang dilakukan Yahoo! pada Desember 2008, pengguna internet terbanyak didominasi oleh remaja 15-19 tahun, yaitu sebesar 64 persen.Lebih lanjut dalam survei yang sama dijelaskan bahwa 58 persen waktu penggunaan internet dihabiskan untuk social networking. Dan jumlah pengguna Twitter di Indonesia meraih peringkat kelima di dunia dengan jumlah pengguna sebanyak 29 juta orang (Brand24, 2013). Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas sosial media didominasi oleh pemuda dan pelaku penyimpangan berbahasa Indonesia di media sosial juga merupakan pemuda itu sendiri.
            Sebagai pihak yang dominan mencederai bahasa sendiri, para pemuda harus melakukan resolusi sebelum muncul masalah-masalah baru di bidang ini. Menggugah nasionalisme melalui penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di kalangan pemuda sekarang ini bisa jadi dipandang sebagai langkah normatif belaka yang tersendat di level implementasi. Namun, tentu saja masih ada beberapa langkah sederhana tapi nyata yang bisa kita gunakan untuk memperbaiki keadaan ini.
            Pertama, dalam aktivitas sosial media hendaknya kita berbahasa sesuai dengan status. Jika berstatus sebagai mahasiswa, gunakan diksi-diksi yang merefleksikan tingkat intelektualitas sebagai mahasiswa. Bukan bermaksud memamerkan kemampuan berbahasa, tetapi memang inilah yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keadaan.Lebih dari dua belas tahun waktu yang dihabiskan di bangku sekolah untuk mempelajari bahasa Indonesia sangat disayangkan jika berakhir sebagai formalitas belaka tanpa implementasi nyata. Jika semua pemuda, khususnya mahasiswa memiliki pola pikir seperti ini maka perlahan tapi pasti masalah penyimpangan bahasa Indonesia dapat dikikis habis.
            Yang kedua, pentingnya literasi media dan teknologi di kalangan pemuda. Istilah literasi media dan teknologi dapat disederhanakan menjadi melek media dan teknologi. Artinya, sebagai pemuda kita tidak hanya mengakses semua informasi yang tersebar di sosial media, melainkan dapat menganalisis dan mengevaluasi pesan yang terdapat disana. Langkah ini menjadi penting agar pemuda tidak begitu saja menerima penyebaran bahasa yang tidak sesuai kaidah kebahasaan. Dengan demikian, bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa baku akan kehilangan pengguna sedikit demi sedikit dan dapat diminimalisasi penggunaannya.
            Ketiga, para pemuda dapat melakukan kampanye mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di sosial media dengan menggunakan hashtag yang unik sehingga menarik minat pemuda lainnya. Di ranah Twitter juga sudah muncul akun-akun yang mengulas tentang bahasa Indonesia yang baik, misalnya @Bahasa_Kita yang membahas kosakata, tata bahasa, dan penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, selama ini belum muncul gerakan dari pemuda itu sendiri secara kolektif. Kampanye ini dapat dilakukan mengingat sebuah teori komunikasi massa dari Schramm dalam Severin dan Tankard (1971) yang disebut dengan Teori Peluru. Teori ini mengatakan bahwa rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa. Apabila pesan “tepat sasaran”, ia akan mendapatkan efek yang diinginkan. Maka dapat dibayangkan jika kampanye mengenai kebahasaan dilakukan secara berkesinambungan, efeknya akan sangat besar dan dapat mengembalikan penggunaan bahasa yang sesuai kaidah.
            Langkah-langkah sederhana di atas diharapkan dapat membantu menyelamatkan nasionalisme dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, khususnya di tataran sosial media yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pemuda.



Daftar Referensi
Severin, Werner J. & Tankard, James W., Jr. (2011). Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, & Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.
Suwardi, Harsono. (Januari 1996). Integrasi Bangsa dalam Perspektif Komunikasi. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritikal Tentang Integrasi Bangsa, Depok.



PS. : Seharusnya ada 3 nama penulisnya disini, it's not pure my idea. Thanks a lot Kak Dinda Larasati and you :))



Tidak ada komentar:

Posting Komentar