20131003

They called it "culture shock".

"Loe pas pertama nyampe sini ngalamin culture shock gak?"


Pertanyaan sederhana dari seorang teman di pelataran masjid kampus sore itu. Saya terdiam sejenak, mengingat-ingat hari pertama saya berada di kampus ini. Dan ingatan saya berlari menuju hari dimana saya harus mendaftar ulang. Pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat sejuta umatnya kampus ini-Balairung.

24 Juli 2013, hari Rabu. Saya diminta datang ke kampus pada pukul 11.00 untuk mengonfirmasi kelulusan saya sebagai mahasiswa baru di kampus ini. Sendirian, literally. Teman-teman dari sekolah saya tidak ada yang diterima melalui jalur dan program yang sama dengan saya dan ayah saya yang ikut mengantar harus kembali sehari sebelum pendaftaran ulang karena telepon genggamnya tak bisa bungkam, penuh dengan panggilan mengenai pekerjaan setiap pagi selama ia disini.

Jadilah saya, mengenakan kemeja putih sesuai dresscode untuk maba, berangkat dari kost diantar tukang ojek, celingukan sambil memegang map biru berisi seluruh berkas yang diperlukan. Tidak ada teman yang bisa diajak berbicara dan hanya mengikuti alur pendaftaran melalui petunjuk arah yang disediakan petugas. Waktu itu bulan puasa dan yah, antreannya cukup panjang. Butuh kesabaran ekstra demi selembar kartu tanda mahasiswa.

Dalam antrean, beberapa mahasiswa baru sudah saling berinteraksi. Topik mainstreamnya adalah; kebanggaan mereka atas keberhasilan "mendobrak" pintu masuk universitas ini melalui jalur mandiri reguler dengan subtopik; apa saja pilihan jurusan yang diambil pada saat tes. Saya menyimak obrolan mereka dan telinga saya menangkap sesuatu yang asing.

"Loe pas SIMAK kemarin ambil apa aja? Kalo gue, sih emang pengen banget jurusan ini. Oh iya, ntar siang kelar jam berapa sih? Pasti gerah banget ni Depok, demi apa gue harus bawa motor sendiri."


Saya heran.
Kata ganti yang mereka gunakan untuk menyebut lawan bicara berbeda dengan apa yang saya gunakan selama 17 tahun berada di dunia. Cara mereka berbicara berbeda dengan cara saya berbicara dengan keluarga dan teman-teman saya. Pilihan kata mereka jatuh pada diksi yang selama ini hanya saya dengar di film dan sinetron khas ibukota. 


Semuanya berbeda.
Tiba-tiba saya merasa menjadi alien yang terdampar di kumpulan manusia. Saya mengurungkan niat mencari teman hari itu. Memperkenalkan diri berarti harus mengeluarkan suara, melafalkan kata, dan merangkai kalimat. Dan saya takut logat khas Medan saya yang berbeda lalu dianggap aneh. Bukan berarti saya tidak bangga dengan asal saya. Namun, pada hari itu, saya takut penolakan. Maka sepanjang hari itu saya hanya diam, tak bersuara kecuali saat menjawab pertanyaan petugas tentang ukuran jas almamater.

Pada hari itu saya tak tahu bahwa ada nama untuk kejadian yang saya alami. Ada penjelasan kenapa saya merasa seperti alien pada hari itu hanya karena perbedaan bahasa. They called it culture shock.


Culture shock revers to the whole set of feelings about being in an alien setting, and the ensuing reactions. It's a chilly, creepy feeling of alienation, of being without some of the most ordinary, trivial (and therefore basic) cues of one's culture of origin.

                                         -Conrad Phillip Kottak in Cultural Anthropology-

"Ya, awalnya."
 Saya menjawab pertanyaan teman saya itu. Dia mengangguk dan sepertinya paham bahwa itu wajar untuk pendatang seperti saya. Lalu ia bilang,


"You have to make more efforts in adaptations. It takes time, but it's worth it to survive." 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar